REVIEW
HUBUNGAN
PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA
(Disampaikan dalam
rangka seminar tentang Pemerintahan Daerah antara Indonesia dan Jepang di IPDN
Jatinangor Sumedang
26 – 27 Oktober 2010)
OLEH:
DR.MADE SUWANDI Msoc.sc
Staf Ahli Menteri Dalam Negeri
KEMENTERIAN DALAM NEGERI – REPUBLIK
INDONESIA
JAKARTA - 2010
REVIEW
HUBUNGAN PEMERINTAHAN PUSAT DENGAN
PEMERINTAHAN DAERAH
(DALAM KORIDOR UU 32/2004)
DR.Made Suwandi
Msoc.sc
I.
PENDAHULUAN
Setelah
hampir satu dekade otonomi daerah pasca reformasi berbagai kemajuan dan
kelemahan telah mewarnai jalannya otonomi daerah di Indonesia. Ada dua
undang-undang otonomi daerah yang diberlakukan dalam kurun wakyu satu dekade
tersebut yaitu UU no.22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU no.32 Tahun 2004.
Secara
generik ada dua tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijakan
desentralisasi (Maddick, 1963, Mutallib, Ali Khan, 1980, Smith, 1983). Pertama
adalah tujuan politis; bagaimana dengan menerapkan kebijakan desentralisasi
Pemerintah suatu negara ingin memanfaatkan Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai
instrument pendidikan politik di tingkat lokal dan secara akumulatif akan
mendukung pendidikan politik nasional untuk mewujudkan masyarakat madani (civil
society). Tujuan kedua adalah tujuan kesejahteraan. Bagaimana Pemerintah
melalui kebijakan desentralisasi berupaya menjadikan Pemda sebagai instrumen
untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal yang secara agregat
akan berkontribusi terhadap kesejahteraan bangsa.
Ilustrasi
dari tujuan politik tersebut untuk di Indonesia dapat dilihat dari pemilihan
kepala daerah (pilkada), penyusunan peraturan daerah (perda), musyawarah
perencanaan pembangunan (musrenbang) yang melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi.
Partsipasi masyarakat akan mendorong Pemda untuk transparan dan akuntabel
kepada masyarakat lokal. Sedangkan ilustrasi dari tujuan kesejahteraan dapat
dilihat dari berbagai pelayanan publik
yang disediakan oleh Pemda.
Agar
Pemerintah Daerah mampu melaksanakan otonominya secara optimal yaitu sebagai
instrumen menciptakan proses demokratisasi dan instrumen menciptakan
kesejahteraan di tingkat lokal, maka kita harus memahami secara filosofis
elemen-elemen dasar yang membentuk Pemerintahan Daerah sebagai suatu entitas
pemerintahan. Sedikitnya ada 7 elemen dasar yang membangun entitas pemerintahan
daerah dan ketujuh elemen dasar tersebutlah yang juga akan menjadi sasaran
utama dalam melakukan review terhadap perjalanan otonomi daerah di Indonesia. Adapun
ketujuh elemen dasar tersebut adalah sebagai berikut:
(1). Kewenangan
atau Urusan Pemerintahan.
Elemen
dasar pertama dari Pemerintahan Daerah adalah "urusan pemerintahan"
yaitu kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang
diserahkan ke Daerah berdasarkan pengaturan dalam UU 32/2004. Dalam Pasal 11
ayat (1) UU 32/2004 ada tiga kriteria yang dipakai dalam membagi urusan
pemerintahan yaitu; eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Berdasarkan
kriteria tersebut akan tersusun pembagian kewenangan yang jelas antar tingkatan
pemerintahan (Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota) dari setiap bidang atau
sektor pemerintahan. Dalam koridor otonomi luas setidaknya terdapat 31 sektor
pemerintahan yang merupakan urusan pemerintahan yang di-desentralisasikan ke
Daerah baik yang terkait dengan urusan yang bersifat wajib untuk
menyelenggarakan pelayanan dasar maupun urusan yang bersifat pilihan untuk menyelenggarakan pengembangan
sektor ekonomi yang menjadi unggulan dari daerah.
Adapun urusan-urusan
pemerintahan yang di desentralisasikan ke daerah adalah sebagai berikut:
Urusan
wajib:
1. Pendidikan
2. Kesehatan
3. Lingkungan Hidup
4. Pekerjaan Umum
5. Penataan Ruang
6. Perencanaan Pembangunan
7. Perumahan
8. Kepemudaan dan Olah Raga
9. Penanaman Modal
10. Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah
11. Kependudukan dan Catatan Sipil
12. Ketenaga kerjaan
13. Ketahanan Pangan
14. Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan anak
15. Keluarga Berencana dan Keluarga
Sejahtera
16. Perhubungan
17. Komunikasi dan Informatika
18. Pertanahan
19. Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam
Negeri
20. Otonomi
daerah, Pemerintahan Umum, Administrasi Keuangan Daerah, Perangkat Daerah,
Kepegawaian dan Persandian
21. Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa
22. Sosial
23. Kebudayaan
24. Statistik
25. Kearsipan dan
26. Perpustakaan
Urusan
Pilihan:
1. Kelautan dan Perikanan
2. Pertanian,
3. Kehutanan
4. Enerji dan Sumber daya Mineral
5. Pariwisata
6. Industri
7. Perdagangan dan
8. Transmigrasi
Sebenarnya
urusan pemerintahan yang didesentralisasikan berjumlah 31 urusan. Namun ketika
urusan pemerintahan tersebut di kelompokkan kedalam urusan wajib dan urusan
pilihan, maka ada beberapa urusan pemerintahan yang terbagi kedalam kelompok urusan
pemerintahan yang berbeda yaitu:
- Urusan Tenaga kerja dan transmigrasi dimana urusan tenaga kerja masuk dalam kategori urusan wajib karena terkait dengan pelayanan dasar masyarakat; sedangkan urusan transmigrasi masuk kedalam urusan pilihan karena tidak mungkin setiap daerah mempunyai potensi transmigrasi.
- Urusan Kebudayaan dan Pariwisata; urusan kebudayaan masuk dalam urusan wajib sedangkan urusan pariwisata masuk kedalam urusan pilihan.
- Urusan Pertanian dan Ketahanan Pangan; urusan pertanian masuk kedalam urusan pilihan sedangkan urusan ketahanan pangan masuk kedalam urusan wajib.
Penentuan
urusan pemerintahan yang di desentralisasikan didasarkan atas urusan-urusan
yang ada kelembagaannya di tingkat Pusat baik dalam bentuk Departemen atau
Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND). Argumennya adalah jangan sampai ”ada
lembaga Pusat” yang menangani urusan tersebut, tapi tidak ada kejelasan lembaga
mana yang menangani urusan tersebut di daerah.
Kebijakan yang dibuat di tingkat Pusat harus jelas lembaga mana yang
meng-operasionalkannya di daerah. Namun tidak pula berarti semua urusan harus
dibuat kelembagaannya di daerah, karena akan membengkakkan overhead cost
daerah. Yang penting adalah ”fungsi”
tersebut ada yang bertanggung jawab melaksanakannya di daerah. Untuk efisiensi, maka perlu ada perumpunan
terhadap urusan-urusan pemerintahan yang sejenis yang diakomodasikan dalam
kelembagaan daerah.
(2).
Kelembagaan
Elemen
dasar yang kedua dari Pemerintahan Daerah adalah kelembagaan daerah. Kewenangan
daerah tidak mungkin dapat dilaksanakan kalau tidak diakomodasikan dalam
kelembagaan daerah. Ada dua kelembagaan penting yang membentuk Pemerintahan
Daerah yaitu: kelembagaan untuk pejabat politik (elected officer) yaitu
kelembagaan Kepala Daerah dan DPRD; dan kelembagaan untuk pejabat karir
(appointed officer) yang terdiri dari perangkat daerah (dinas, badan, kantor
dan sekretariat, Kecamatan, Kelurahan dll).
(3).
Personil
Elemen
dasar yang ketiga yang membentuk Pemerintahan Daerah adalah adanya personil yang
menggerakkan kelembagaan daerah untuk menjalankan urusan pemerintahan yang
menjadi domain daerah. Personil
daerah (PNS Daerah) tersebut yang pada gilirannya menjalankan kebijakan publik
strategis yang dihasilkan oleh pejabat politik (DPRD dan KDH) untuk
menghasilkan barang dan jasa (goods and services) sebagai hasil akhir (end
product) dari Pemerintahan Daerah.
(4).
Keuangan Daerah
Elemen
dasar yang keempat yang membentuk Pemerintahan Daerah adalah keuangan daerah.
Keuangan daerah adalah sebagai konsekuensi dari adanya urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah. Hal tersebut sesuai dengan prinsip "money
follows functions". Davey dan Devas menyatakan bahwa efektifitas
pembiayaan otonomi daerah tergantung dari sejauhmana daerah diberikan sumber-sumber
keuangan untuk membiayai tanggung jawab pemerintahan yang diserahkan ke daerah
dan sejauhmana elastisitas sumber-sumber keuangan tersebut berkorelasi dengan
peningkatan pembiayaan pelayanan publik akibat pertumbuhan penduduk (Davey,
1983, Devas, 1986). Daerah harus diberikan sumber-sumber keuangan baik yang
bersumber pada pajak dan retribusi daerah (desentralisasi fiskal) maupun
bersumber dari dana perimbangan (subsidi dan bagi hasil) yang diberikan ke
daerah. Adanya sumber keuangan yang memadai akan memungkinkan daerah untuk
melaksanakan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah.
(5).
Perwakilan Daerah
Elemen
dasar yang kelima yang membentuk Pemerintahan Daerah adalah perwakilan daerah.
Secara filosofis, rakyat yang mempunyai otonomi daerah tersebut. Namun secara
praktis, tidak mungkin masyarakat untuk memerintah bersama. Untuk itu maka
dilakukan pemilihan wakil-wakil rakyat untuk menjalankan mandat rakyat dan
mendapatkan legitimasi dari rakyat daerah untuk melaksanakan otonomi daerah. Dalam
sistem pemerintahan di Indonesia, ada dua kelompok yang mewakili pelaksanaan
otonomi daerah yang dipilih rakyat. Pertama yaitu DPRD yang dipilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu) untuk
menjalankan fungsi legislasi daerah. Kedua adalah Kepala Daerah yang dipilih
melalui pemilihan Kepala Daerah yang dilakukan secara langsung oleh rakyat
daerah yang bersangkutan untuk menjalankan fungsi eksekutif daerah. Dengan
demikian Kepala Daerah dan DPRD adalah pejabat yang dipilih oleh rakyat melalui
proses pemilihan, yang mendapat mandat untuk mengatur dan mengurus rakyat dalam
koridor kewenangan yang dimiliki daerah yang bersangkutan.
Dalam
elemen perwakilan tersebut mengandung berbagai dimensi didalamnya yang
bersinggungan dengan hak-hak dan kewajiban masyarakat. Termasuk dalam dimensi
tersebut adalah bagaimana hubungan DPRD dengan Kepala Daerah; bagaimana
hubungan keduanya dengan masyarakat yang memberikan mandat kepada mereka dalam
upaya artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat; pengakomodasian
pluralisme lokal kedalam kebijakan-kebijakan daerah; penguatan civil society
dan isu-isu lainnya yang terkait dengan proses demokratisasi di tingkat lokal.
(6). Pelayanan Publik
Elemen dasar yang keenam yang membentuk
Pemerintahan Daerah adalah "pelayanan publik". Hasil akhir dari
pemerintahan daerah adalah tersedianya "goods and services" yang
dibutuhkan masyarakat. Secara lebih detail goods and services tersebut dapat
dibagi dalam dua klasifikasi sesuai dengan hasil akhir (end products) yang
dihasilkan Pemerintahan Daerah. Pertama Pemerintahan Daerah menghasilkan public
goods yaitu barang-barang (goods) untuk kepentingan masyarakat lokal seperti
jalan, jembatan, irigasi, gedung sekolah, pasar, terminal, rumah sakit dsb yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kedua, Pemda menghasilkan pelayanan yang
bersifat pengaturan publik (public regulations) seperti menerbitkan Akte
Kelahiran, KTP, KK, IMB, HO, dan sebagainya. Pada dasarnya pengaturan publik
dimaksudkan untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban (law and order) dalam
masyarakat.
Isu
yang paling dominan dalam konteks pelayanan publik tersebut adalah bagaimana
kualitas dan kuantitas pelayanan publik yang dihasilkan Pemda dalam rangka
mensejahterakan masyarakat lokal. Prinsip-prinsip standard pelayanan minimal dan
pengembangan pelayanan prima (better, cheaper, simpler and faster) serta
akuntabilitas akan menjadi isu utama
dalam pelayanan publik tersebut.
(7). Pembinaan dan Pembinaan dan Pengawasan
(Binwas)
Elemen dasar ketujuh yang membentuk
Pemerintahan Daerah adalah "pengawasan'. Argumen dari pengawasan adalah
adanya kecenderungan penyalah-gunaan kekuasaan sebagaimana adagium dari Lord
Acton yang menyatakan bahwa "power tends to corrupt and absolute power
will corrupt absolutely". Untuk mencegah hal tersebut maka elemen
pengawasan mempunyai posisi strategis untuk menghasilkan pemerintahan yang
bersih. Berbagai isu pengawasan akan menjadi agenda penting seperti sinerji
lembaga pengawasan internal, efektifitas `pengawasan eksternal, pengawasan
sosial, pengawasan legislatif dan juga pengawasan melekat (built in control).
Dalam konteks pembinaan adalah berbagai fasilitasi yang dilakukan oleh Pemerintah
Pusat terhadap pemerintahan daerah agar
Pemda dapat menjalankan otonominya secara efektip, efisien, ekonomis dan akuntabel.
Ketujuh elemen dasar diatas merupakan elemen
"generik" yang membentuk Pemerintah Daerah. Setiap perubahan
kebijakan desentralisasi pada dasarnya akan berpengaruh terhadap ketujuh elemen
dasar tersebut. Ketika pemerintahan nasional dikelola secara sentralistik pada
masa Orde Baru, ketujuh elemen dasar tersebut sangat dipengaruhi oleh kebijakan
dan intervensi Pusat. Setelah reformasi, daerah mempunyai diskresi yang tinggi
dalam pengelolaan ketujuh elemen dasar tersebut. Namun seluas apapun otonomi
daerah di Indonesia, penyelenggaraannya tetap dalam koridor Konstitusi UUD 1945
dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
II.
REVIEW KEWENANGAN (URUSAN PEMERINTAHAN)
Pada awal reformasi ada
kelemahan mendasar dalam aspek kewenangan atau urusan pemerintahan yang
diserahkan ke daerah. Pada waktu masa berlakunya UU 22/1999 yang diatur dalam
PP 25/2000 hanya kewenangan Pusat dan Provinsi yang diatur dan sisanya diserahkan ke Daerah
Kabupaten/Kota dalam bentuk pengakuan.
Metoda tersebut cenderung menciptakan kondisi
saling klaim kewenangan antar tingkatan pemerintahan, khususnya urusan-urusan
pemerintahan yang menghasilkan revenues (penerimaan). Sedangkan urusan
pemerintahan yang bersifat pengeluaran (cost centres) cenderung untuk diabaikan
dan bahkan dikembalikan ke Pusat. Terjadi moral hazard baik di Pusat maupun
daerah. Pusat sangat menyambut baik pengembalian kewenangan karena akan
mengembalikan kewenangan Pusat yang selama ini diserahkan ke Daerah. Sebaliknya
Daerah akan senang karena mereka tidak dibebani menyelenggarakan urusan yang
membebani mereka secara financial.
Bercermin dari permasalahan tersebut,
UU 32/2004 mencoba membagi setiap urusan pemerintahan dengan menggunakan tiga
kriteria yaitu externalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Dengan cara tersebut
maka dalam setiap urusan akan jelas apa-apa saja yang kewenangan Pusat,
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pembagian urusan tersebut dituangkan dalam PP
38/2007.
Untuk mencegah terjadinya
multi interpretasi, maka dari setiap urusan yang diserahkan ke daerah diikuti
dengan aturan yang jelas bagaimana untuk melaksanakan urusan tersebut.
Pengaturan tersebut yang sekarang ini dikenal dengan istilah NSPK (Norma,
Standard, Prosedur dan kriteria) yang dahulu sangat populer dengan istilah
juklak dan juknis untuk mengerjakan urusan tersebut. NSPK tersebut diharapkan
dapat menciptakan kejelasan bagi daerah untuk melaksanakan urusan tersebut dan
memudahkan pengawasan dan pembinaan dari Pusat.
Ada beberapa masalah terkait
dengan pelaksanaan PP 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Masalah-masalah tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Perlunya akselerasi penyusunan
NSPK dari Departemen/LPND sebagai acuan bagi Daerah dalam melaksanakan urusan
yang menjadi kewenangan Daerah. Tanpa
NSPK tersebut, Daerah akan mempunyai persepsi sendiri melaksanakan
kewenangannya. Ini akan menimbulkan ketidak pastian hukum. Sedangkan tanggung
jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan menurut Pasal 4 (1) UUD 1945 ada
ditangan Presiden.
b. Pusat diberi tenggat waktu 2 (dua) tahun oleh PP
38/2007 untuk menyusun NSPK dan sudah berakhir pada tanggal 7 Juli 2009.
Apabila dalam tenggat waktu tersebut Pusat belum juga membuat NSPK tersebut,
maka sesuai dengan bunyi PP 38/2007, Daerah dapat melaksanakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangannya sesuai persepsi daerah. Daerah akan
membuat Peraturan Daerah (Perda) sesuai dengan kebutuhan dan prioritas daerah
serta mengacu kepada kearifan local (local wisdom) dari daerah yang
bersangkutan. Namun setiap daerah akan mempunyai local wisdom yang berbeda satu
dengan lainnya. Akibatnya tidak ada kesatuan pengaturan tentang suatu urusan
tertentu. Hal ini yang menyebabkan kenapa Perda yang mengatur suatu kewenangan
tertentu bias berbeda-beda antar daerah. Kondisi tersebut kalau dibiarkan akan
memicu ketidak pastian hukum.
c. Dalam konteks penyusunan NSPK, Kementerian/LPNK
telah diminta untuk melakukan mapping berapa NSPK yang dibutuhkan untuk
dijadikan acuan bagi daerah dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah. Sudah barang tentu NSPK tersebut selama ini sudah ada dan
mungkin dulu istilah yang dipakai bermacam-macam seperti pedoman,
juklak/juknis, manual dll. Dari mapping tersebut akan ter identifikasi:
1) NSPK yang sudah ada dan masih “up to date” untuk
tetap dijadikan acuan oleh daerah;
2) NSPK yang sudah “out of date” dan perlu di revisi;
dan
3) NSPK yang belum ada dan perlu dibuat baru.
d. Sampai saat ini semua Departemen/LPND sedang dalam
proses menyelesaikan NSPK sesuai dengan prioritas masing-masing. Namun demikian
sangat diperlukan akselerasi dari Departemen/LPND mengingat banyaknya NSPK yang
harus disusun oleh masing-masing Departemen/LPND tersebut. Kementerian Dalam
Negeri sesuai dengan ketentuan dalam PP 38/2007 berperan sebagai “clearing
house” dan kordinator agar dalam penyusunan NSPK melibatkan Pemda sehingga
mengurangi resistensi di kemudian hari.
Penyusunan SPM:
a. Sampai saat ini baru 5 Kementerian yang
menyelesaikan SPM yaitu Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementrian Lingkungan Hidup dan
Kementerian Dalam Negeri. Untuk itu maka sangat diperlukan adanya percepatan
dalam penyelesaiannya. SPM sangat diperlukan untuk meningkatkan akuntabilitas
Pemda karena masyarakat akan mempunyai kepastian, pelayanan-pelayanan dasar apa yang minimal mereka peroleh dari
Pemda. Bagi Pemda keberadaan SPM akan sangat membantu dalam penyusunan anggaran
kinerja. Bagi Pusat adanya SPM akan memudahkan pembinaan dan pengawasan serta bantuan
Pusat ke daerah baik dalam bentuk hibah maupun DAK.
b. Dalam penyusunan SPM seyogyanya mengedepankan SPM
yang sederhana, mudah dilaksanakan sesuai dengan kemampuan SDM dan keuangan
daerah. Secara incremental jenis dan tingkat SPM ditambah sesuai dengan
kemampuan keuangan Negara dan daerah serta kemampuan SDM.
III.
REVIEW KELEMBAGAAN
Ada beberapa permasalahan yang
terkait dengan SOTK di Daerah yaitu:
·
Adanya kecenderungan untuk
membengkakkan struktur organisasi (SOTK) daerah karena tekanan birokrasi yang
terlalu besar. Salah satu penyebabnya adalah terus diangkatnya PNS baru.
Permasalahan PNS adalah pemerataannya yang tidak seimbang antar daerah. Sebaiknya
sebelum pemerataan dan pengaturan PNS belum tertangani secara baik,
pengangkatan PNS baru dilakukan moratorium, kecuali untuk tenaga-tenaga yang
mendesak untuk direkrut.
·
Adanya kecenderungan
Departemen/LPND meminta daerah untuk membuat kelembagaan serupa di daerah baik
dalam bentuk Dinas, Badan atau Kantor. Sedangkan PP 41/2007 membatasi jumlah
SOTK daerah untuk mencegah terserapnya sebagian besar anggaran daerah untuk
membiayai SOTK tersebut. Bengkaknya overhead cost Daerah akan mengurangi
kemampuan daerah membiayai pelayanan public untuk kesejahteraan masyarakat.
Untuk itu daerah menyusun SOTK sesuai dengan prioritas pelayanan public, baik
dalam bentuk pelayanan dasar maupun pengembangan sector unggulan yang menjadi prioritas Daerah ybs.
·
Pusat seyogyanya menyusun
pemetaan (mapping) daerah-daerah mana yang mempunyai permasalahan serius dalam
urusan wajib (pelayanan dasar) dan potensi unggulan apa yang akan dikembangkan
di daerah tsb. Sebagai contoh; daerah yang mempunyai permasalahan serius dalam
bidang pemberdayaan perempuan haruslah membentuk kelembagaan kuat dalam bidang
tersebut. Daerah tsb juga akan menjadi perhatian utama bagi Meneg Pemberdayaan
Perempuan untuk dijadikan target pembinaan. Hanya daerah yang mempunyai potensi
unggulan pariwisata yang membentuk Dinas Pariwisata dan daerah tsb yg dijadikan
target bagi Kementerian Pariwisata untuk dikembangkan potensi pariwisatanya
untuk mendukung pencapaian target nasional di bidang pariwisata. Dengan cara
demikian Pusat dan daerah akan menjadi focus dalam mengembangkan potensi untuk
mencapai target-target nasional baik dalam bidang pelayanan dasar maupun
pengembangan sector unggulan. Ini
sebagai dasar bagi Pusat untuk mempunyai “cantolan” kelembagaan di Daerah dan
juga menjadi dasar bagi Daerah dalam menyusun SOTK yang sesuai dengan prioritas
mereka masing-masing. Daerah yang tidak mempunyai unggulan pariwisata jangan
sampai membentuk Dinas Pariwisata. Dengan demikian baik Kementerian/LPNK Pusat
akan focus pada daerah-daerah mana saja yang harus diberdayakan sesuai dengan
kewenangannya
IV.
REVIEW PERSONIL DAERAH
Sepanjang menyangkut kepegawaian daerah, masalah-masalah yang
terindentifikasi adalah:
(1) Daerah cenderung mempunyai jumlah pegawai
yang melebihi jumlah yang diperlukan. Hal ini mengakibatkan beratnya beban
daerah untuk membiayai gaji pegawai. Berdasarkan hasil survey Ditjen Otda
Depdagri Tahun 2003, ratio pegawai daerah terhadap jumlah penduduk adalah 103
penduduk dilayani oleh seorang pegawai daerah diluar guru sekolah dan para
medik.
(2). Walaupun Daerah mengalami kelebihan jumlah
pegawai, pada waktu yang sama Daerah mengalami kekurangan pegawai dengan
kualifikasi atau kompetensi yang memadai untuk melaksanakan beban tugas yang
menjadi kewenangan Daerah. Banyak jabatan-jabatan dalam struktur organisasi
Daerah diisi oleh pejabat yang belum
sesuai dengan kompetensinya. Hal ini disebabkan karena belum adanya standard
kompetensi yang dipersyaratkan untuk menduduki jabatan-jabatan yang ada dalam
struktur organisasi Pemda. Banyak Pemda yang mengalami kondisi kelebihan dan
kekurangan pegawai dalam waktu yang bersamaan atau “overstaffed and understaffed
management”. Kelebihan pegawai yang tidak kompeten tapi dalam waktu yang
bersamaan kekurangan pegawai yang kompeten.
(3). Dalam beberapa kasus pengangkatan pada
jabatan struktural, terjadi pengedepanan terhadap "Putera Daerah"
tanpa memperhatikan aspek kompetensi yang dibutuhkan untuk suatu jabatan.
Akibatnya menimbulkan tidak nyamannya pejabat yang berasal dari luar daerah
karena kurang adanya keamanan akan
kontinyuitas kerja (security of tenure).
(4). Rendahnya mobilitas baik secara horizontal
maupun vertikal terhadap pegawai daerah. Hal ini akan mengakibatkan sulitnya
pembentukan rasa kebangsaan "Nation Building". Untuk negara
berkembang seperti Indonesia, posisi PNS masih dianggap sebagai alat perekat
bangsa (the binding force of the nation).
(5). PNS Daerah masih sering dijadikan alat
mobilisasi kepentingan politik dari elite daerah (Kepala Daerah dan DPRD).
Kurangnya netralitas dan belum mengedepannya persyaratan kompetensi untuk
menduduki suatu jabatan dalam struktur organisasi Daerah akan menyuburkan
gejala patronasi dan kooptasi politik kepada PNS Daerah. Hal ini akan
mengakibatkan rendahnya profesionalisme PNS Daerah.
(6). Distribusi PNS di lingkungan organisasi
Daerah lebih terfokus pada bagian administratif dibandingkan pada bagian yang langsung
terkait dengan pelayanan publik. Sering juga unsur sekretariat yang seyogyanya
berfungsi sebagai pendukung (support staff) berperan juga sebagai penyedia
pelayanan publik. Akibatnya pelayanan publik sering berjalan kurang optimal.
(7). Tidak adanya kejelasan dalam manpower
planning, career planning dan career development bagi PNS di Daerah,sering
mengakibatkan apatisme PNS dan mengurangi kreativitas dan daya inovasi PNS pada
umumnya. PNS daerah tidak tahu bagaimana jenjang karir mereka kedepan, apa-apa
yang harus dilakukan untuk mengembangkan karir mereka. Mereka akan terjebak
dalam rutinitas dan sangat sulit mengharapkan kreativitas atau inovasi dari
kondisi kepegawaian tersebut.
(8). Training atau Diklat belum didasarkan atas
"training need assessment". Hal ini terkait dengan tidak jelasnya
kompetensi yang dipersyaratkan untuk suatu jabatan dalam struktur organisasi
daerah diluar persyaratan administratif (pangkat, dan pendidikan penjenjangan)
Mengacu pada permasalahan diatas, maka perlu penekanan adanya standard
kompetensi untuk menduduki suatu jabatan. Tanpa adanya standard kompetensi Kepala
Daerah menjadi sesukanya menempatkan pejabat sesuai dengan keinginannya dan
bukan atas dasar kompetensi. Kalau hal ini dibiarkan akan berakibat rendahnya kualitas
dan kuantitas pelayanan public yang dihasilkan daerah.
Perlu dipikirkan untuk melakukan mutasi yang sifatnya nasional yang
dilakukan oleh Pusat untuk jabatan-jabatan strategis di daerah. Cara ini akan
memeratakan pelayanan public yang membutuhkan tenaga kerja langka seperti
dokter spesialis dan mengurangi rasa kedaerahan yang kuat (putera asli daerah)
dan memperkuat ikatan rasa nasionalisme (the binding force of the nation).
Setiap daerah hendaknya menyusun manpower planning yang jelas sehingga daerah
suatu hari akan mempunyai PNS dalam jumlah dan kualifikasi sesuai dengan misi
pemerintah daerah yaitu mensejahterakan masyarakatnya.
V.
REVIEW KEUANGAN DAERAH
Dari hasil review isu keuangan daerah,
kondisi riil yang terjadi sekarang ini adalah sebagai berikut:
(1). Belum sinkronnya antara Undang-Undang yang
mengatur mengenai keuangan daerah (UU 17/2003, UU 1/2004, UU 15/2004, UU
32/2004, dan UU 33/2004).
(2). Adanya kecenderungan mis-alokasi anggaran
tidak sesuai dengan prioritas daerah; lebih banyak anggaran untuk biaya
overhead (rata-rata 70%) dibandingkan alokasi biaya untuk pelayanan publik
(rata-rata 30%).
(3). Adanya kecenderungan inkonsistensi antara
RPJMD dengan APBD dan antara APBD dengan realisasi APBD.
(4). Adanya kecenderungan daerah melakukan
ekstensifikasi pajak dan retribusi daerah yang distortif terhadap perekonomian
daerah.
(5). Daerah yang mengembangkan inovasi sering
mengalami kesulitan karena belum adanya payung hukum untuk meng-akomodasikan
kegiatan-kegiatan inovatif daerah.
(6). Sulitnya menerapkan anggaran kinerja. Salah
satu penyebabnya karena SPM sebagai dasar untuk menyusun anggaran kinerja belum
tersusun.
(7). Perimbangan keuangan yang belum mampu untuk
mengurangi kesenjangan fiskal antar daerah yang cenderung melebar antara daerah
kaya dengan daerah miskin.
(8). Khusus
untuk pinjaman untuk daerah, tingkat bunga yang ditawarkan pemerintah kurang
kompetitif terutama untuk pinjaman yang berasal dari luar negeri.
(9). Sulitnya
daerah untuk menghitung asset daerah. Kondisi tersebut menyulitkan untuk
penerapan sistem anggaran berbasis double entry (accrual system).
(10). Belum
efisiennya Perusahan Daerah karena masih cenderung menjadi cost centres
dibandingkan revenue centres.
(11). Belum
jelasnya payung hukum yang mengatur kemitraan Pemda dengan swasta (BOT, BOL,
BOO, Management Contracting Out, KSO, Turn Key Projects, Pembelian saham
perusahan luar negeri/BUMN). Kerugian yang diakibatkan akan berdampak pada
anggaran daerah dan mengurangi biaya pelayanan publik.
(12). Rancunya
pemahaman mengenai dana dekonsentrasi. Selama ini muncul kecenderungan dana
dekonsentrasi yang seyogyanya untuk membiayai urusan-urusan Pusat yang ada di
daerah telah dipergunakan untuk membiayai urusan desentralisasi. Akibatnya Kepala Daerah dan DPRD sering
dilewati dalam pelaksanaannya dan kondisi tersebut akan merusak akuntabilitas
pemanfaatan dana dekonsentrasi. Dana dekonsentrasi dalam konteks otonomi daerah
adalah untuk membiayai tugas Gubernur sebagai wakil Pusat di daerah dalam
melakukan monev, supervisi dan fasilitasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah
oleh Kabupaten/Kota yang ada di wilayahnya.
(13). Kurang
dimanfaatkannya mekanisme tugas pembantuan dalam melaksanakan urusan-urusan
Pusat yang ada di Daerah sekaligus dengan pembiayaannya. Jumlah PNS yang masih
banyak di Pusat telah menimbulkan kecenderungan Pusat untuk membentuk UPT dan
Balai di daerah yang sebenarnya urusan tersebut dapat dilaksanakan melalui
mekanisme dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Tekanan birokrasi yang kuat di Pusat
membuat Pusat lebih mengambil pilihan membentuk UPT atau Balai untuk mengurangi
tekanan birokrasi yang jumlahnya masih banyak di Pusat.
Untuk mengurangi kerancuan
dalam dana dekonsentrasi dan dana Tugas Pembantuan, Pemerintah telah
mengeluarkan PP 7 Tahun 2008 tentang Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas
Pembantuan. PP ini diharapkan akan mendudukkan pada proporsinya pemanfaatan
dana dekon dan dana TP. Khusus untuk pembentukan UPT dan Balai yang merupakan
perpanjangan tangan Departemen/LPND di daerah, harus mendapatkan rekomendasi
terlebih dahulu dari Gubernur. Apabila Gubernur sebagai wakil Pusat
berkeberatan, maka Menpan tidak akan memberikan persetujuan untuk pembentukan
Balai atau UPT tersebut.
Khusus untuk mencegah high
cost economy akibat ”kreatif” nya daerah melakukan extensifikasi pajak dan
retribusi daerah, maka perlu meningkatkan pengawasan preventif Perda pajak/retribusi
Kabupaten/Kota oleh Gubernur sebagai
wakil Pusat di daerah. Kalau pengawasan tersebut dilakukan oleh Pusat sudah
pasti Pusat kewalahan dan adanya kecenderungan Kab/Kota enggan melaporkan
Perdanya ke Pusat. Perlu revitalisasi peran Gubernur sebagai wakil Pusat dalam
mengatasi persoalan tersebut.
Selama ini telah ribuan Perda
khususnya Perda Pajak dan Retribusi yang dibatalkan oleh Mendagri karena
berpotensi menyebabkan high cost economy dan sering pungutan tersebut
bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Mungkin perlu
dipikirkan untuk menerapkan pajak dan retribusi apa saja yang boleh dipungut
oleh daerah. Diluar daftar tersebut Pemda tidak diijinkan memungutnya.
VI.
REVIEW PERWAKILAN
Review atas aspek perwakilan menunjukkan
gejala-gejala sebagai berikut:
(1). Lemahnya partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, karena tidak jelasnya mekanisme tanggung
jawab DPRD dan Kepala Daerah kepada masyarakat. Lemahnya civil society telah
menyebabkan tiadanya pressure masyarakat terhadap eksekutif dan legislative
daerah. Pressure tersebut sangat penting untuk mendorong terbentuknya checks
and balances antara DPRD dan Kepala Daerah.
(2). Lemahnya partisipasi masyarakat telah menyebabkan lemahnya mekanisme checks
and balances antara Kepala Daerah dan DPRD. Dalam banyak kasus, kadang-kadang
malah terjadi kolaborasi antara eksekutif dan legislatif daerah dalam
penyalahgunaan keuangan daerah.
(3). Dalam banyak kasus, DPRD kadang-kadang
banyak terjebak dalam menuntut hak-hak protokoler mereka dibandingkan
memperjuangkan hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat.
(4). Sistem Pemilu proporsional dengan daftar
terbuka terbatas dalam pemilu legislatif, cenderung meningkatkan tanggung jawab
anggota DPRD kepada elite parpol dibandingkan ke rakyat. Memang telah ada
kemajuan “sedikit” dengan diterapkannya UU 10/2008 tentang Pemilu. UU Pemilu
tersebut telah mengatur bahwa calon yang mendapatkan suara minimal 30% dari
bilangan pembagi pemilih (BPP) berhak untuk menang walaupun yang bersangkutan
mendapatkan nomor urut dibawah.
(5). Masih lemahnya secara umum pemahaman anggota
DPRD terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan otonomi daerah
atau sistem pemerintahan. Keterbatasan tersebut telah menciptakan
"bias" persepsi dan kepentingan dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah.
(6). Pluralisme lokal sering kurang
terakomodasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, karena keterbatasan
kemampuan elite lokal (DPRD dan Kepala Daerah) untuk memanfaatkan kearifan
lokal, inisiatif dan kreativitas lokal.
(7). Biaya yang besar yang telah dikeluarkan
dalam proses pemilihan DPRD dan Kepala Daerah, sering berpotensi pada penyalah
gunaan kekuasaan (power abuse) dalam penyusunan kebijakan lokal dan terutama
pemanfaatan anggaran daerah.
(8). Dalam banyak kasus, Kepala Daerah berhadapan
secara diametrik dengan DPRD dan bukan dalam bentuk kemitraan yang efektip.
(9). Kemungkinan terjadinya gejala
"executive heavy" dalam konteks tidak adanya Laporan Pertanggung Jawaban
dan DPRD tidak didukung tenaga ahli untuk mampu bermitra secara seimbang dengan
Kepala Daerah
Persoalan utama dalam membentuk hubungan
kemitraan yang sejajar antara Kepala
Daerah dan DPRD harus dimulai dari awal. DPRD harus paham betul substansi
Rencana Strategis yang dituangkan dalam
dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang diusulkan oleh
pihak eksekutif untuk di “Perda”kan. RPJMD yang telah disepakati tersebut yang
menjadi acuan dalam penyusunan rencana tahunan pembangunan daerah (RKPD) yang pada akhirnya bermuara pada
Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD). DPRD harus mampu menjalankan hak
budget nya secara optimal dalam membahas RAPBD dengan menjadikan RPJMD sebagai
acuan utama. Dalam pelaksanaan APBD, DPRD harus memanfaatkan fungsi kontrolnya
secara optimal. DPRD sebagai unsur penyusun kebijakan strategis daerah harus
mampu memusatkan diri pada pengawasan yang bersifat strategis dan bukan tehnis.
Untuk mampu menjalankan fungsi-fungsinya
secara optimal, DPRD hendaknya dibantu oleh tenaga akhli. Adalah mustahil DPRD
dapat mengimbangi eksekutif daerah hanya berbekal kapasitas yang mereka miliki
mengingat latar belakang pemahaman pemerintahan yang masih terbatas. Tanpa
dukungan tenaga akhli tersebut DPRD akan kalah dalam hubungannya dengan Kepala
Daerah yang dibantu oleh birokrasi daerah. Hal ini lebih disebabkan oleh
hubungan yang tidak seimbang karena kapasitas yang tidak berimbang (unlevel of
playing field). Situasi tersebut yang menyebabkan perasaan DPRD bahwa mereka di
“bonsai” oleh eksekutif atau bahkan oleh peraturan-perundang-undangan. Solusi
dari masalah tersebut adalah adanya “affirmative policy” bahwa DPRD harus
didukung oleh kelompok akhli sesuai dengan kebutuhannya.
VII.
REVIEW PELAYANAN PUBLIK
Hasil review terhadap pelayanan publik
menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut:
(1). Terbatasnya alokasi anggaran daerah untuk kepentingan pelayanan publik (hanya
sekitar 30%) dan lebih banyak untuk overhead cost penyelenggara pemerintahan
daerah (Kepala Daerah, DPRD dan Perangkat Daerah)
(2). Kurang
jelasnya prosedur, biaya dan waktu penyelesaian bagi masyarakat untuk
memperoleh pelayanan publik dari Pemda
(3). Lemahnya
akuntabilitas Pemda dalam penyediaan pelayanan publik
(4). Standard
Pelayanan Minimum (SPM) untuk pelayanan dasar (basic services) belum tersusun
secara komprehensif. Hal ini akan menyebabkan berbagai masalah baik dalam bidang
keuangan, binwas, perencanaan dan juga akuntabilitas.
(5). Berbelit-belitnya
prosedur dari Pemda untuk mengurus keperluan investasi dan kurangnya ”sense of
crisis” dari daerah sehingga mengurangi pentingnya isu membangun iklim
investasi yang sehat di daerah. Sebagian besar Pemda belum memahami pentingnya
kemudahan perijinan dalam investasi dan kurangnya insentif daerah untuk
merangsang masuknya investasi.
(6). Kordinasi
antar stakeholders masih sulit; Pusat, Daerah dan Swasta masing-masing
cenderung berjalan sendiri-sendiri
(7). Terdapat
daerah-daerah yang sangat terbatas dari aspek SDM, pendanaan sehingga
memerlukan perhatian khusus untuk pemberdayaannya.
(8). Belum
berkembangnya sikap enterpreneurship di kalangan Pemda
Daerah harus ditingkatkan pemahamannya
bahwa hampir 90% APBD daerah berasal dari Pusat yang dikemas dalam bentuk dana
perimbangan. Krisis ekonomi global dewasa ini sangat potensial menggerus
kemampuan Pusat untuk mengumpulkan penerimaan dari pajak akibat lesunya
kegiatan ekspor. Gelombang PHK akan makin banyak dan seyogyanya kondisi
tersebut harus membangkitkan rasa tanggung jawab daerah untuk menciptakan
lapangan kerja di daerah. Perlu disadarkan bahwa potensi daerah bisa
”collapsed” manakala Pusat tidak mampu lagi menopang dana perimbangan yang
selama ini disalurkan ke daerah dalam bentuk DAU, DAK, Bagi Hasil Pajak dan
Bukan Pajak.
Sudah saatnya Pemda disadarkan
untuk meningkatkan pelayanan publik khususnya yang membantu kemudahan investasi
dan pengembangan usaha kecil dan menegah masyarakat melalui penggalakan Balai
Latihan Kerja (BLK), membantu dalam pemasaran dan pelayanan-pelayanan publik
yang bersifat pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Mendagri sudah mengeluarkan
Permendagri No.24 Tahun 2006 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (One Stop
Service) untuk mendorong Pemda memberikan pelayanan yang makin bagus (better),
makin murah (cheaper), makin cepat (faster) dan makin sederhana (simpler).
VIII.
REVIEW PEMBINAAN DAN PENGAWASAN (BINWAS)
Review
atas kondisi binwas menunjukkan indicator sebagai berikut:
(1). Sulitnya sinkronisasi pengawasan internal
(Bawasda, Irjen, BPK) dan pengawasan external (BPK) sehingga membingungkan
daerah karena terjadinya tumpang tindih pengawasan oleh instansi pengawas yang
berbeda
(2). Elit daerah enggan untuk memfasilitasi
terbangunnya social control
(3). Banyaknya jenis laporan yang harus disiapkan
Pemda dengan substansi yang sama namun format yang berbeda-beda, sehingga
menyulitkan dan cenderung tidak efisien
(4). Aparat kepolisian dan kejaksaan sering
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap perangkat daerah tanpa kordinasi
dengan instansi pengawasan daerah (bawasda)
(5). Kontrol legislatif (DPRD) sering kurang
ditindak lanjuti dan tidak ada mekanisme yang jelas antara kontrol DPRD dengan
kontrol yang dilakukan oleh aparat internal Pemda (Bawasda)
(6). Tidak terdapat mekanisme
"interface" yang jelas antara pembinaan umum yang dilakukan oleh Kementerian
Dalam Negeri dengan pembinaan teknis yang dilakukan oleh Kementerian/LPNK
Teknis terhadap Daerah. Akibatnya
Kementerian/LPNK tehnis sulit masuk ke Daerah dan proses supervisi dan
fasilitasi Pusat menjadi terhambat. Sedangkan Kemdagri tidak mempunyai
kemampuan untuk masuk ke pembinaan teknis. Kondisi tersebut menyebabkan
terlantarnya pelayanan-pelayanan publik yang memerlukan fasilitasi teknis dari Kementerian/LPNK.
Terjadinya penelantaran terhadap PLKB dan Penyuluh Pertanian adalah bentuk dari
proses penelantaran oleh daerah dan lemahnya supervisi dan fasilitasi atau
pemberdayaan Pusat terhadap otonomi daerah. Terjadinya kasus busung lapar
adalah salah satu contoh dari kondisi tersebut.
Sejak reformasi
telah muncul kegamangan di tingkat Pusat bagaimana hubungan Binwas Pusat
terhadap daerah. Banyak pejabat di Pusat beranggapan kalau urusan sudah di
otonomikan, maka lepaslah tanggung jawab Pusat dan beralih menjadi tanggung
jawab daerah untuk sepenuhnya atas urusan yang di desentralisasikan tersebut.
Inilah pendapat yang salah dan sikap ini juga yang menjadi salah satu sebab
terjadinya proses pembiaran oleh Pusat terhadap daerah. Daerah dengan
persepsinya msing-masing akan melaksanakan urusan tersebut sesuai dengan
keinginan mereka. Dalam kondisi lemahnya civil society di daerah maka pembiaran
tersebut akan mengakibatkan mal-administrasi. Akibat dari mal-administrasi
tersebut dijadikan argumen oleh Pusat untuk menarik kembali kewenangan tersebut
dengan alasan daerah belum mampu melaksanakannya.
Dalam
Pasal 4 (1) UUD 1945 secara eksplisit dinyatakan bahwa Presiden memegang
kekuasaan pemerintahan menurut UUD. Ini berarti tanggung jawab akhir
pemerintahan ada ditangan Presiden (the ultimate responsibility lies upon the
President). Kalau terjadi kelaparan di Yakuhimo (Papua), maka tanggung jawab
akhir ada di Presiden sebagai penangung jawab kekuasaan eksekutif. Untuk itu
adalah menjadi tanggung jawab Presiden melalui menteri-menteri sebagai
pembantunya untuk melakukan binwas terhadap daerah agar mampu menjalankan
otonominya secara optimal. Untuk itu adalah tidak beralasan kalau Kewmenterian/LPNK
melakukan proses pembiaran terhadap daerah.
Persoalannya
adalah bagaimana menciptakan ”interface” antar Kementerian dalam melakukan
binwas terhadap daerah. Mendagri bertanggung atas binwas yang besifat umum
sedangkan Kementerian/LPNK tehnis bertanggung jawab atas binwas tehnis. Harus
disusun mekanisme kordinasi antara binwas umum dan binwas tehnis.
PENUTUP
Sering orang berpendapat bahwa
dengan diterapkan otonomi daerah sebagai buah dari reformasi akan seketika
menciptakan pemerintahan daerah yang demokratis dan menciptakan kesejahteraan
masyarakat lokal yang secara agregat diharapkan akan menyumbang kepada
pembentukan masyarakat madani (civil society) dan kesejahteraan bangsa. Tapi
realitas yang terjadi banyak yang mengecewakan dan bahkan banyak kalangan yang berpendapat
jaman orde baru lebih baik dibandingkan jaman reformasi sekarang ini.
Memang ada beberapa daerah
yang mampu memanfaatkan otonomi luas secara optimal sehingga menghasilkan best
practises di Indonesia. Namun jumlah Pemda yang berkinerja bagus sangat sedikit
sekali. Lebih banyak jumlah Pemda yang belum mampu memanfaatkan momentum
otonomi daerah secara bijak sehingga sering menimbulkan tuduhan munculnya
raja-raja kecil yang cenderung menyalah gunakan otonomi daerah untuk
kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Namun patut kita sadari juga
bahwa otonomi daerah sebagai variant dari demokrasi memerlukan waktu yang
sangat panjang untuk merealisasikannya. Banyak diantara kita yang lupa bahwa
tidak ada negara yang memasuki proses demokrasi akan berhasil secara cepat.
Salah satu masalah dari demokrasi adalah prosesnya yang lambat dan bahkan
sering bertele-tele dalam mewujudkan cita-cita demokrasi tersebut yaitu
terciptanya masyarakat sejahtera yang berbasis demokrasi yang diwarnai oleh
partisipasi, transparansi dan akuntabilitas.
Berbeda dengan pemerintahan
sentralistis yang elitis, pemerintahan yang demokrasi melibatkan orang banyak
dalam pelaksanaannya dengan posisi kesetaraan dan kesamaan kedudukan.
Pra-kondisi yang diperlukan dalam pemerintahan
yang demokratis adalah adanya masyarakat dengan tingkat pendidikan serta
sosial ekonomi yang memadai. Prof Budiono dalam pengukuhannya sebagai Guru
Besar UGM menyatakan bahwa batas kritis kelangsungan demokrasi adalah US$
6600/capita. Hasil studi dari tahun 1950 s/d 1990 dengan pendapatan US$ 1500,
demokrasi hanya bertahan 8 tahun; dengan tingkat penghasilan $ 1500 - $
3000/capita demokrasi bertahan 18 tahun, sedangkan untuk negara berpenghasilan
diatas $ 6000 kemungkinan gagalnya demokrasi satu berbanding lima ratus.
Kondisi ini memberikan
pandangan bagi kita bagaimana memacu Pemda di Indonesia agar mampu menyediakan
pelayanan publik yang sebaik-baiknya sebagai pra-kondisi meningkatkan income
per capita masyarakat yang pada gilirannya akan bermuara pada berhasilnya kita
memanfaatkan otonomi daerah sebagai instrumen mensejahterakan dan
mendemokrasi-kan rakyat Indonesia sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa ini
yaitu memajukan kesehteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana
secara eksplisit dinyatakan oleh the Founding Fathers bangsa ini dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA
Maddick,H.(1983).
Democracy, Decentralisation, and Development. Bombay: Asian Publishing
House.
Rondinelli,D
and Cheema,S. (1983). Implementing Decentralisation Policies. London:
Sage
Smith,BC.
(1985). Decentralisation. London: George Allen and Unwin.
Kompas
12 Agustus 2009
Kompas
22 Agustus 2009
Media
Indonesia 5 Agustus 2009
GLOSSARY:
APBD; Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
BAWASDA; Badan Pengawasa Daerah
BLK; Balai Latihan Kerja
DAU; Dana Alokasi Umum
DAK; Dana Alokasi Khusus
DPRD; Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
LPNK; Lembaga Pemerintah Non Kementerian
Musrenbang; Musyawarah Perencanaan Pembangunan
NSPK; Norma, Standard, Prosedur, dan Kriteria
PEMILU; Pewmilihan Umum
PERDA; Peraturan Daerah
PNS; Pegawai Negeri Sipil
SOTK; Struktur Organisasi dan Tata Kerja
SPM; Standard Pelayanan Minimum
RPJMD; Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
RKPD; Rencana Kegiatan Pembangunan Daerah
CURICULUM VITAE PENULIS
NAMA :
DR.MADE SUWANDI MSoc.Sc
LAHIR :
KLUNGKUNG,BALI, 21 JUNI 1953
JABATAN : DIREKTUR
URUSAN PEMDA, DITJEN OTDA, DEPDAGRI
ALAMAT : DEPDAGRI, JL.MERDEKA UTARA 7-8 JAKARTA
EMAIL : made_suwandi@yahoo.co.id
CELL PHONE : 0816-914482
PENDIDIKAN TAMAT:
1.
APDN BANDUNG 1975
2.
IIP JAKARTA 1980
3.
MASTER OF SOCIAL SCIENCE,
UNIVERSITY OF BIRMINGHAM, ENGLAND, 1988
4.
DOCTOR IN LOCAL GOVERNMENT
STUDIES, UNIVERSITY OF BIRMINGHAM, ENGLAND, 1992
PENGALAMAN AKADEMIS DAN
SEMINAR:
1. Dosen Pasca Sarjana
Universitas Indonesia, IIP Jakarta, STIE, UNKRIS, dan IPDN.
2. Short
Course on Private Partnership in Urban Services (PURSE) in Harvard University, Cambridge,
Massachusset, USA, 1993.
4. Short
Course on Local Government in Local Autonomy College, Tokyo, Japan, 1994.
5. Short
Course on Urban Management, Birmingham University, England, and IHS Rotterdam,
Holland, 1994.
6. Seminar
on Mega City, Asian Development Bank, Manila, 1995.
7. Short
Course on Management Research, Birmingham University, 1997.
8. Seminar
on Civil Society, Hamburg, Germany, 1998
9. Seminar
on Governance, Manila, 1999
10. Study
Comparative on European Local Government, Amsterdam and London, 2000
11. Seminar
Asian Forum, Bangkok, May, 2001
12. Conference
on Decentralization, Georgia State University, Atlanta, USA, May 2002.
13. Comparative
on USA Decentralization, USA, July 2002.
14. Symposium
on Indonesian Decentralization, Hitotsubashi University, Tokyo, January 2003
15. Comparative
Study on South Africa Decentralization, Johannesburgh, May 2003
16. Seminar
on Poverty Reduction Strategy, Phonm Penh, Cambodia, October 2003
17. Seminar
on Service Delivery, Manila, Januari 2004
18. Seminar
on Millenium Development Goals, Manila, May 2004
19. Comparative
Study on South Africa Decentralisation Desember 2004
20. Seminar
on Poverty Alleviation, Hyderabad, India, Desember 2006
21. Seminar
on Strengthening Human Right, Vancouver, Canada, May 2007
22. Comprative
Study on Decentralisation, Berlin, Germany, November 2007.
23. Study
on Eastern European Local Government, Budapest, May 2008
24. Workshop
on South-South Cooperation, Art Gold, Southern Province, Srilanka, August 2008
25. Workshop
on Forest Decentralisation, Hessen, Germany, October 2008
26. Study on
Environment and Local Government, CLAIR, Tokyo and Sendai 27 July – 2 August
2009.
DR.Made Suwandi Msoc.sc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar