Selasa, 12 Juni 2012

MENGELOLA HUBUNGAN PELAYANAN PUBLIK (Metodologi Penyediaan Pelayanan Publik dari Sisi Pemerintah Daerah dan Sisi Masyarakat)


MENGELOLA HUBUNGAN  PELAYANAN PUBLIK
(Metodologi Penyediaan Pelayanan Publik dari Sisi Pemerintah Daerah dan  Sisi Masyarakat)













OLEH:

DR.MADE SUWANDI Msoc.sc























JAKARTA - 2010

                       MENGELOLA HUBUNGAN PELAYANAN PUBLIK
DR.Made Suwandi Msoc.sc


I.1. HUBUNGAN OTONOMI DAERAH DENGAN PELAYANAN PUBLIK

Legal basis yang memberikan payung hukum bagi daerah dalam menyediakan pelayanan publik adalah adanya kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan daerah. Luas dan sempitnya urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah otonom akan menentukan luas atau sempitnya isi otonomi daerah ybs. Akar dari pemberian otonomi daerah berpangkal pada kebijakan desentralisasi yang dilakukan oleh elite penguasa dari suatu Negara. Paradigma yang terjadi adalah dalam Negara yang menganut pendekatan sentralistik dalam mengelola pemerintahannya, akan sedikit urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah. Sebaliknya pada Negara yang menganut kebijakan desentralistik dan umumnya terjadi di Negara-negara yang mengedepankan demokrasi, cenderung daerah diberikan kewenangan yang luas dalam mengelola urusan pemerintahan.

Ini berarti luas tidaknya kewenangan yang dimiliki daerah dalam menyediakan pelayanan public akan sangat tergantung pada banyak tidaknya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah tersebut melalui kebijakan desentralisasi dari elite penguasa.. Pada akhirnya hampir semua urusan pemerintahan akan bermuara pada pelayanan public. Daerah yang diberikan otonomi yang luas akan mempunyai kewenangan yang luas dalam menyediakan pelayanan public kepada warganya.

Pada perkembangan selanjutnya makin maju suatu Negara secara social, ekonomi dan politis akan semakin sedikit peran langsung pemerintah dalam penyediaan pelayanan public. Pemerintah baik di Pusat maupun daerah akan lebih banyak berkonsentrasi dalam penyusunan kebijakan (steering) dibandingkan sebagai penyedia langsung pelayanan (rowing). Akan lahir berbagai variasi dalam penyediaan pelayanan public baik dalam bentuk privatisasi murni atau sepenuhnya oleh pihak swasta; kemitraan pemerintah dengan swasta yang melahirkan berbagai skema seperti BOT, BOL, BOO, BTO dan berbagai bentuk privatisasi lainnya.

Dari aspek Konstitusi, dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dilacak dalam kerangka konstitusi NKRI. Apabila kita menelusuri UUD 1945 khususnya dalam Pembukaannya, pada alinea ketiga disebutkan bahwa:

Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan
oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.

Kemudian dalam alinea keempat lebih lanjut dikatakan bahwa:

“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UndangUndang
Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia dst……. “.

Dari kedua alinea tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Alinea ketiga menyatakan bahwa bangsa Indonesia atas berkat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa menyatakan kemerdekaannya.

Alinea keempat memberikan tindak lanjut yang dilakukan bangsa Indonesia setelah menyatakan kemerdekaannya dari aspek pemerintahan. Pertama adalah membentuk “Pemerintah Negara Indonesia”. Pemerintah yang mengurus kemerdekaan bangsa Indonesia. Dari sini kita lihat esensi dibentuknya Pemerintah Nasional yang mengurus bangsa yang baru merdeka tersebut. Statemen tersebut menunjukkan dianutnya paham Negara kesatuan (unitary state) di Indonesia yang baru merdeka tersebut. Dalam Negara kesatuan Pemerintah Pusat yang muncul dulu baru kemudian diikuti dengan pembentukan pemerintahan daerah oleh Pemerintah Pusat. Kondisi tersebut membedakannya dengan Negara federal. Dalam Negara federal, daerah yang umumnya muncul dulu; baru kemudian daerah-daerah tersebut bersefakat untuk membentuk federasi yang kemudian bermuara pada terbentuknya Negara federal.

Konsekwensi dari Negara kesatuan dilihat dari sisi kekuasaan pemerintahan adalah bahwa sumber kekuasaan ada ditangan Pemerintah Pusat. Dari UUD 1945 kita bisa temukan hal tersebut dari Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa:

“Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Ini secara eksplisit memberikan indikasi bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan dan otomatis juga tanggung jawab akhir pemerintahan ada ditangan Presiden (The ultimate responsibility lies upon the President).

Ketika Pusat membentuk Daerah; tergantung pada Pemerintah Pusat sejauhmana kekuasaan pemerintahan tersebut akan diberikan ke daerah dan menjadi isi rumah tangga atau otonomi daerah tersebut. Hal ini tergantung pada kemauan politik elite yang berkuasa. Dalam Negara yang menganut paham sentralistik, sedikit kekuasaan pemerintahan atau kewenangan yang diberikan ke daerah. Sebaliknya pada Negara yang menganut paham desentralistik, dan umumnya dijumpai pada Negara-negara demokratis, ada kecenderungan daerah diberikan kewenangan yang luas untuk menangani urusan-urusan pemerintahan yang bersifat local dengan ekternalitas lokal dengan tujuan mendekatkan pemerintah  kepada masyarakat sehingga mudah untuk meminta akuntabilitas pemerintah daerah dibandingkan meminta akuntabilitas tersebut ke Pusat yang jauh dari masyarakat.

Pelajaran lanjutan yang kita dapat dari konstitusi adalah bahwa Pemerintah Daerah melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden. Disisi lain Presiden menjadi penanggung jawab akhir pemerintahan. Konsekwensi logis berikutnya adalah bahwa sudah seyogyamnya juga Presiden melakukan pembinaan dan pengawasan (binwas) kepada pemerintah daerah agar pemerintah daerah mampu melaksanakan urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah secara optimal.

Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri-Menteri. Menteri Dalam Nregeri adalah pembantu Presiden di bidang otonomi daerah, namun terbatas pada hal-hal yang bersifat umum. Maka Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan dan pengawasan yang bersifat umum terhadap Pemerintah Daerah. Pada sisi lain Menteri Tehnis yang sebagian kewenangannya diserahkan ke daerah mempunyai kewajiban membina dan melakukan pengawasan yang bersifat tehnis ke daerah. Dari konstruksi tersebut kita bisa melihat bahwa Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden menjadi kordinator bagi Menteri Tehnis dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap daerah agar otonomi daerah dapat berjalan secara optimal.

Dari uraian diatas, ciri umum penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia dalam koridor UUD 1945 adalah :

1.       Pemerintah daerah merupakan hasil pembentukan oleh Pemerintah, bahkan dapat dihapus oleh Pemerintah melalui proses hukum.

2.       Dalam rangka desentralisasi, di wilayah Indonesia dibentuk Provinsi dan di wilayah Provinsi dibentuk Kabupaten dan Kota sebagai daerah otonom.

3.       Sebagai konsekuensi kedua hal diatas, maka kebijakan desentralisasi dilakukan oleh Pemerintah, sedangkan penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta masyarakat sebagai cerminan pemerintahan yang demokratis.

4.       Hubungan antara pemerintah daerah otonom dengan pemerintah nasional (Pusat) adalah bersifat tergantung (dependent) dan bawahan (sub-ordinate). Hal ini berbeda dengan hubungan antara negara bagian dengan pemerintah federal yang menganut prinsip federalisme, yang sifatnya independent dan koordinatif.

5.       Penyelenggaraan desentralisasi menuntut persebaran urusan pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom sebagai badan hukum publik. Urusan pemerintahan yang didistribusikan hanyalah merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi Pemerintah dan tidak mencakup urusan yang menjadi kompetensi Lembaga Negara yang membidangi legislatif atau lembaga pembentuk Undang-undang dan yudikatif ataupun lembaga Negara yang berwenang mengawasi keuangan Negara, walaupun DPRD diberi wewenang untuk mengatur urusan Daerah bersama Kepala Daerah.

6.       Mengingat urusan pemerintahan bersifat dinamik maka dalam penyerahan urusan pemerintahan tersebut selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Untuk menjamin kepastian, perubahan-perubahan tersebut perlu didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu selalu ada dinamika inter-governmental task sharing (pembagian urusan pemerintahan) antara level pemerintahan Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pemerintah Pusat.

7.       Sisi demokratisasi pada Pemda berimplikasi bahwa Pemda dijalankan oleh masyarakat sendiri melalui wakil-wakil rakyat yang dipilih secara demokratis dan dalam menjalankan misinya untuk mensejahterakan rakyat, wakil-wakil rakyat tersebut akan selalu menyerap, mengartikulasikan serta meng-agregasikan aspirasi rakyat tersebut kedalam kebijakan-kebijakan publik di tingkat lokal. Namun kebijakan publik di tingkat lokal tidak boleh bertentangan dengan kebijakan publik nasional dan diselenggarakan dalam koridor-koridor norma, nilai dan hukum positif yang berlaku pada negara dan bangsa tersebut.


II. PELAYANAN PUBLIK YANG BERORIENTASI KEPADA KESEJAHTERAAN

Salah satu dimensi dari kebijakan desentralisasi adalah adanya penyerahan urusan pemerintahan yang menjadi domain Pemerintah Daerah. Semua urusan pemerintahan akan bermuara pada pelayanan public. Pelayanan public ada yang bersifat pengaturan (regulating) seperti perijinan, KTP, KK, IMB dsb. Ada juga pelayanan public yang sifatnya non regulation seperrti pelayanan pendidikan, kesehatan, jalan raya, persampahan dll.

Semua pelayanan public tersebut ditujukan untuk menjawab amanat Konstitusi yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pertanyaan berikutnya adalah apa ukuran sejahtera itu. Menurut konsep Human Development Index (HDI), suatu konsep yang dikembangkan oleh Mahbub Ul Haq seorang ekonom Pakistan bersama dengan Amartya Sen dari India menyatakan bahwa suatu bangsa dikatakan sejahtera apabila memenuhi tiga criteria utama yaitu:

1.    A long and healthy life measured by life expectancy at birth
2.    Knowledge measured by adult literacy (at least 70%) and the combined primary secondary, and tertiary gross enrollment ratio (at least 30%)
3.    Decent standard of living as measured by GDP per capita at purchasing power parity in US dollar.

Dengan tiga ukuran tersebut, kita dapat mengetahui posisi kita di dunia dalam hal kesejahteraan berdasarkan pada konsep HDI atau di Indonesia dikenal dengan istilah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Konsep  tersebut juga dipakai oleh United Nations Development Programme (UNDP) salah satu lembaga milik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengukur tingkat kesejahteraan bangsa-bangsa di dunia. Posisi Indonesia menurut hasil survey UNDP terhadap 179 negara di dunia tahun 2006 yang hasilnya dipublikasikan pada 18 Desember 2008 adalah sebagai berikut:

1.       ICELAND                0,968
2.       NORWAY                0,968
3.       CANADA                0,967
4.       AUSTRALIA            0,965
8.       JAPAN                             0,956
15.     USA                       0,950
21.     UK                         0,942
25.     KORSEL                  0,928
27.     BRUNEI                  0,919
28.     SINGAPORE            0,918
63.     MALAYSIA              0,823
81.     THAILAND              0,786
102.   PHILIPPINE            0,745
109.   INDONESIA            0,726

Data diatas menunjukkan bahwa Indonesia menduduki posisi nomor 109 dari 179 negara yang di survey. Dalam konteks otonomi daerah, tantangannya adalah bagaimana otonomi daerah mampu menjadi instrument bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan di tingkat local yang pada gilirannya secara agregat akan menyumbang kepada peningkatan kesejahteraan nasional.

Disamping DPRD yang bertugas untuk mewakili rakyat daerah dalam mengelola urusan pemerintahan yang diserahkan oleh Presiden, ada juga actor kedua yang bernama “Kepala Daerah”. Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui mekanisme Pemilihan Langsung Kepala Daerah (Pilkada). Dengan demikian berarti bahwa Kepala Daerah adalah orang yang dipilih rakyat, dapat mandat rakyat dan bertugas mengurus rakyat. Apa yang diurus; adalah urusan yang diberikan Pemerintah (domain kewenangan Presiden) kepada rakyat. Untuk apa diurus; adalah untuk mensejahterakan rakyat, meningkatkan IPM sebagai indicator kesejahteraan.

Dengan demikian berarti ada dua actor yang mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan kepada rakyat yaitu; DPRD dan Kepala Daerah. Agar DPRD dan Kepala Daerah mampu melaksanakan perannya secara optimal, maka mereka dibantu oleh Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD). Ada Pegawai yang membantu Kepala Daerah yaitu Sekretaris Daerah (Sekda) beserta jajarannya. Ada juga yang membantu DPRD yaitu Sekretaris Dewan (Sekwan) beserta jajarannya. Sekda dan Sekwan beserta jajarannya tersebut yang membentuk Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) baik yang berbentuk Dinas, Badan, Kantor atau secretariat.

Dapat disimpulkan bahwa yang mengelola urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah adalah Kepala Daerah bersama DPRD dan dibantu oleh Perangkat Daerah. Itu juga yang menjadi argument bahwa Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan oleh Kepala Daerah dan DPRD dibantu oleh Perangkat Daerah. Konsekwensi logisnya adalah baik Kepala Daerah maupun DPRD adalah sama-sama unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Kalau Kepala Daerah dan DPRD adalah pejabat politis, maka PNS adalah pejabat karir yang berbasis meritokrasi. Dari aspek rekrutmen; pejabat politis dipilih langsung oleh rakyat dan mendapat mandate rakyat untuk mensejahterakan rakyat sesuai dengan visi dan misi yang ditawarkannya kepada rakyat. Ini berarti mereka mempunyai kewajiban membuat kebijakan-kebijakan strategis mau dibawa kemana rakyat dalam masa 5 tahun kedepan. Sedangkan PNS adalah pejabat karir yang direkrut berdasarkan kompetensi tehnis yang bertugas menterjem,ahkan kebijakan strategis dari pejabat politis menjadi kebijakan yang bersifat operasional. Masing-masing harus mampu mengembangkan kapasitas kompetensinya tanpa harus saling meng-intervensi satu sama lain dalam mengembangkan profesionalismenya. Kepala Daerah dan DPRD meningkatkan profesionalisme dalam pembuatan kebijakan strategis dan politis, sedangkan PNS berkewajiban menuingkatkan profesionalisme tehnis dan manajerialk sesuai bidang tugasnya.

Konstruksi pemerintahan daerah dengan pemerintahan di pusat berbeda. Di tingkat pusat pemerintah terdiri dari Presiden dibantu wakil Presiden dan Menteri-Menteri. Keseluruhan pengelola Negara Republik Indonesia dikenal dengan istilah Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANRI). Sedangkan di tingkat daerah yang mengelola pemerintahan daerah adalah Kepala Daerah dengan DPRD dibantu oleh Perangkat Daerah yang tergabung dalam Dinas, Badan, Kantor dan secretariat ditambah dengan Kecamatan dan Kelurahan di tingkat Kabupaten/Kota.


III. RUANG LINGKUP OTONOMI DAERAH

Otonomi berasal dari dua suku kata yaitu “auto” artinya sendiri dan “nomos” artinya mengatur. Dalam konteks otonomi daerah, maka ketika daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang bertempat tinggal dalam batas-batas wilayah tertentu dan kepada mereka diberikan otonomi daerah, maka itu berarti masyarakat di daerah tersebut mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus dirinya sesuai dengan ruang lingkup urusan pemerintahan yang diberikan kepada daerah tersebut. Makin sentralistis elite penguasa di tingkat nasional makin terbatas otonomi yang diberikan ke daerah. Sebaliknya makin demokratis elit penguasa cenderung akan semakin luas urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah yang bersangkutan.

Dari konotasi diatas akan lahir konsep-konsep otonomi sempit atau terbatas atau otonomi luas.  Dalam otonomi terbatas, daerah hanya diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang terbatas. Diluar urusan pemerintahan yang telah ditentukan menjadi isi otonomi daerah dalam peraturan perundang-undangan, daerah tidak diperkenankan untuk mengatur dan mengurusnya.  Konsep ini dikenal dengan istilah “ultra vires”. Beberapa kalangan akademisi memberikan label “otonomi materiil” untuk konsep tersebut.

Dalam konsep otonomi luas atau juga dikenal dengan istilah “general competence”, maka daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan yang luas sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat. Daerah boleh melaksanakan urusan apa saja sepanjang urusan tersebut bukan urusan pemerintahan yang menjadi domain dari pemerintahan diatasnya. Segala sesuatu yang bersifat local yang terkait dengan kepentingan local diberikan kepada unit pemerintahan local untuk mengurusnya. Prinsip otonomi tersebut dikenal juga dengan istilah “subsidiarity principle”.

Otonomi daerah yang dianut di Indonesia khususnya setelah reformasi cenderung mengarah kepada otonomi luas, namun bukan dalam konteks mengadopsi prinsip subsidiaritas. Kecenderungan yang terjadi adalah apapun kewenangan pemerintahan yang ada di tingkat nasional cenderung di otonomikan namun dalam skala local. Provinsi bertanggung jawab atas semua urusan pemerintahan yang dilaksanakan di tingkat pusat tapi dalam skala Provinsi atau lintas Kabupaten/Kota dalam Provinsi yang bersangkutan. Demikian juga Kabupaten/Kota bertanggung jawab atas semua urusan pemerintahan yang dilaksanakan  oleh pusat namun dalam skala Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

Dikecualikan dari konsep diatas adalah untuk urusan-urusan pemerintahan yang membahayakan keutuhan dan kesatuan nasional dengan berbagai argument yang melatar-belakangi seperti:

1.    Urusan Pertahanan; konsep ini bersifat universal. Di berbagai belahan dunia seluas apapun otonomi yang diberikan ke daerah tidak pernah tentara di desentralisasikan karena potensial akan menciptakan perang saudara manakala terjadi konflik antar daerah.
2.    Urusan keamanan khususnya terkait dengan kepolisian. Di berbagai Negara polisi di desentralisasikan seperti Jepang, Phillipina, USA, Inggris, Kanada dan lain-lainya. Namun di Indonesia polisi tidak di desentralisasikan. Oleh karena itulah maka di Indonesia untuk menegakkan hukum produk daerah (perda) dibentuklah satuan polisi pamong praja (Satpol PP).
3.     Urusan Moneter; konsep ini relative bersaifat universal. Sangat jarang ditemui Negara memberikan kewenangan daerah untuk mencetak uang dan memberi nilai mata uang.  Pengecualian terjadi di Hongkong SAR (Special Administrative Region) setelah berintegrasi dengan China. Hongkong mempunyai mata uang sendiri. Hanya aspek pertahanan dan politik luar negeri yang tetap dipegang China.
4.    Urusan Yustisi; banyak Negara yang mendesentralisasikan urusan ini dan umumnya terjadi di Negara-negara federal. Di Indonesia urusan terkait Kejaksaan, Penjara masih menjadi kewenangan pusat.
5.    Urusan Politik Luar Negeri; yang dimaksud disini lebih kepada urusan diplomasi. Secara universal urusan diplomasi masih menjadi kewenangan Pusat. Kalau urusan diplomasi tersebut diserahkan ke daerah maka sangat berpotensi akan dis-integrasi Negara. Syarat adanya suatu Negara adalah
a.    adanya rakyat;
b.    ada wilayah;
c.    ada pemerintahan dan
d.    pengakuan luar negeri.

Kalau diplomasi tersebut diserahkan ke daerah, maka akan menjadi insentif bagi daerah-daerah yang tidak puas dengan pemerintahan nasional, mencari pengakuan ke PBB untuk menjadi Negara merdeka dan berdaulat.
6.    Urusan Agama; konsep ini lebih bersifat politis. Dikhawatirkan kalau daerah diberi kewenangan agama akan mendorong daerah menerapkan syariat agama yang menjadi mayoritas agama di suatu daerah. Kondisi tersebut juga berpeluang memecah belah kesatuan nasional. Walaupun kemudian semua urusan yang terkait urusan agama dan berdampak local dan tidak berpotensi memecah persatuan nasional akhirnya tetap dipegang pusat seperti urusan nikah, talak, rujuk, urusan madrasah dan lain-lainnya.  

Diluar keenam urusan pemerintahan yang menjadi domain pusat, semuanya di desentralisasikan dalam konsep otonomi luas di Indonesia. Namun konsep ini juga sering menimbulkan kesalah pahaman dari para pemangku kepentingan ataupun praktisi otonomi daerah di Indonesia baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Sebagian praktisi daerah sering berpendapat bahwa semua urusan pemerintahan selain enam urusan yang mutlak milik pusat adalah menjadi kewenangan daerah. Sebagian praktisi di tingkat pusat juga berpikiran senada.

Kondisi tersebut yang kemudian menyebabkan kegamangan dalam menyikapi otonomi daerah. Banyak praktisi di tingkat pusat berpendapat bahwa semuanya sudah di otonomikan ke daerah, maka tidak lagi ada kewenangan pusat untuk membina dan mengawasi daerah. Kalau suatu urusan pemerintahan jelek hasilnya maka semua kesalahan akan dilemparkan ke daerah sebagai unit pemerintahan yang tidak mampu menjalankan atau bahkan merusak otonomi daerah. Sikap yang senada juga disuarakan oleh sebagian praktisi daerah; kalau suatu urusan sudah di-otonomikan maka tidak lagi ada hak pusat untuk mengatur-atur lagi daerah. Terjadi kesamaan persepsi antara pusat dan daerah dengan arah yang salah.

Satu hal penting yang terlupakan oleh kalangan yang be-persepsi salah tersebut. Mereka sama-sama lupa landasan konstitusi yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 bahwa “Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD”. Ini adalah paham integralistik yang dianut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang dirumuskan dalam konstitusi oleh para pendiri bangsa Indonesia (the founding fathers). Implikasi dari paham integralistik tersebut adalah bahwa seluas apapun otonomi yang dianut dalam Negara kesatuan, tidak ada satu urusanpun yang seratus persen bisa diserahkan ke daerah mengingat tanggung jawab akhir pemerintahan ada ditangan Presiden (the ultimate responsibility lies upon the President).   

Paling sedikit kewenangan yang tetap ada ditangan pusat adalah menentukan aturan main untuk menyelenggarakan suatu urusan pemerintahan yang tertuang dalam bentuk norma, standard, prosedur dan criteria (NSPK). NSPk tersebut yang menjaga agar daerah dalam melaksanakan urusan otonominya tetap dalam koridor NKRI. Sebagai suatu ilustrasi; andaikan suatu urusan pemerintahan diberikan sepenuhnya ke daerah tanpa ada NSPK maka setiap daerah akan membuat kebijakan sendiri-sendiri berbasis kearifan local (local wisdom) masing-masing untuk menjalankan urusan tersebut. Akibatnya standard pelayanan public bisa berbeda-beda antar daerah dan akan menimbulkan kekacauan. Sebagai contoh, apabila pendidikan seratus persen diserahkan ke daerah, maka daerah akan membuat standard kurikulum, standard guru/dosen, standard ujian/buku sendiri-sendiri berbasis kearifan local daerah masing-masing. Resiko terburuk yang terjadi bisa saja lulusan suatu daerah tidak diakui di daerah lain, kompetensi yang sangat variatif akan terjadi dan ini akan membahayakan keutuhan nasional.

Ilustrasi tersebut memberikan argument bagi kita bahwa seluas apapun otonomi daerah dalam Negara Kesatuan seperti Indonesia, minimal pusat masih berperan untuk menetapkan NSPK, melakukan binwas dan fasilitasi kepada daerah. Dengan cara tersebut ketimpangan antar daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah dapat dihindari. Karena muara dari otonomi daerah adalah kesejahteraan masyarakat local, maka kegiatan binwas dan fasilitasi dari pusat harus mampu meminimalisir ketimpangan tersebut. Hal tersebut juga memberikan argumen bahwa kementrian di pusat masih mempunyai tugas yang berat untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dan fasilitasi kepada daerah dalam koridor NSPK yang ada.  Untuk itu sangat diperlukan perubahan “mind set” pejabat di pusat untuk menyusun kegiatan-kegiatan yang merubah peran dari “pelaksana” menjadi “pemberdaya” atau dari peran “implementing” menjadi “empowering” atau “enabling”.

Dari uraian diatas jelas bahwa dalam setiap urusan pemerintahan yang di desentralisasikan masih ada peran pusat, peran provinsi dan peran kabupaten/kota. Karena itulah maka urusan tersebut menjadi urusan yang dikerjakan bersama antara pusat dan daerah. Terjadilah prinsip “concurrence” dalam pelaksanaan urusan tersebut. Maka urusan yang di desentralisasikan tersebut sering juga dikenal dengan istilah urusan “konkuren” artinya dikerjakan bersama antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota.

Urusan konkuren tersebut mengikuti alur pikir Indeks Pembangunan Manusia atau HDI yaitu ada kelompok urusan-urusan pemerintahan  yang terkait dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan dan pelayanan dasar lainnya. Kelompok urusan tersebut diberi label “urusan wajib”. Argumen bahwa urusan yang terkait dengan pelayanan dasar menjadi urusan wajib karena menyangkut pelayanan dasar yang menjadi hak-hak warga Negara Indonesia yang dijamin dalam konstitusi UUD 1945. Contoh; setiap warga Negara berhak atas pendidikan, maka urusan pendidikan menjadi urusan wajib. Demikian juga halnya dengan  urusan kesehatan, tenaga kerja, social dan urusan-urusan yang terkait dengan pelayanan dasar lainnya.

Ketika daerah diwajibkan untuk melaksanakan pelayanan dasar tersebut, maka harus didukung sumber pembiayaan mengikuti prinsip “money follows functions”. Karena kemampuan keuangan pemerintah yang masih terbatas, maka urusan wajib mengikuti prinsip pelayanan  “minimum” yaitu apa-apa saja yang minimal harus diberikan oleh pemerintah daerah terkait dengan penyediaan pelayanan dasar tersebut. Dari pemikiran tersebut lahirlah konsep “Standard Pelayanan Minimum” atau SPM. Oleh karena itulah dalam penyusunan SPM tersebut pemerintah harus realistis dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan, sumber daya, sarana serta prasarana yang ada di daerah tersebut. Makin banyak dan luas SPM yang dibuat akan makin menambah beban pemerintah daerah untuk mencapainya. SPM seyoganya menjadi konsep yang dinamis dan bersifat “incremental’ atau bertahap sesuai dengan kemampuan daerah dan Negara dalam mendukung konsep tersebut.

Kelompok kedua yang termasuk rumpun urusan konkuren adalah urusan yang terkait dengan pengembangan sector unggulan (core compentence) daerah atau dikenal dengan istilah urusan pilihan. Pengembangan urusan pilihan akan terkait dengan upaya membangun ekonomi daerah yang pada gilirannya akan bermuara pada peningkatan penghasilan atau income masyarakat sebagai salah satu elemen dasar dari IPM atau HDI. Walaupun daerah diberikan otonomi luas, bukan berarti semua urusan harus dilaksanakan, tapi harus focus melaksanakan urusan yang sesuai dengan karakter daerah itu sendiri dan mempunyai potensi yang tinggi untuk dikembangkan untuk mendukung perekonomian daerah tersebut. Ada tiga indicator untuk menentukan suatu urusan pilihan yaitu:
1.    Struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB); sektor-sektor ekonomi mana saja yang membentuk perekonomian daerah. Contoh berapa sumbangan sector petanian, perdagangan, pariwisata dan sector lainnya terhadap ekonomi daerah. Makin tinggi sumbangan sector tersebut ke perekonomian daerah semakin diperhitungkan sector tersebut sebagai unggulan daerah.
2.    Mata pencaharian penduduk (employment). Hal ini merupakan pertimbangan utama dalam menentukan urusan pilihan yang akan dilaksanakan di suatu daerah. Meskipun pertanian sebagai contoh, menyumbang sangat kecil kepada perekonomian daerah, namun melibatkan tenaga kerja yang dominan di suatu daerah, maka urusan pertanian tersebut harus diutamakan. Argumennya adalah bahwa pemerintah daerah ada karena rakyat; kalau tidak ada rakyat maka mustahil akan dibentuk pemerintah daerah. Jadi tugas mensejahterakan rakyat menjadi misi utama keberadaan pemerintahan daerah. Jadi dimana mayoritas rakyat bekerja disanalah sector yang harus dikembangkan secara maksimal oleh pemerintah daerah walaupun sering sector yang menyerap penduduk banyak, sumbangannya sangat kecil terhadap PDRB.
3.    Pemanfaatan lahan menjadi dasar pertimbangan yang ketiga dalam menentukan urusan pilihan. Faktor ini lebih merupakan komplemen saja dalam menentukan sector unggulan daerah.

Sinthesis antara ketiga variable diatas akan menentukan apa yang menjadi sector unggulan suatu daerah otonom. Sektor unggulan tersebut akan menjadi urusan pilihan yang akan menjadi focus daerah dalam melaksanakan otonominya mensejahterakan masyarakat mnelalui pengembangan  ekonomi berbasis sektor unggulan tersebut.

Urusan pemerintahan mempunyai cakupan yang sangat luas dan hampir mencakup seluruh bidang kehidupan masyarakat. Akademisi sering memberikan ungkapan bahwa urusan pemerintahan adalah mencakup aspek dari mengurus manusia lahir sampai dengan mati (from the craddle to the grave) artinya dari ayunan sampai kuburan. Hal ini terbukti dari diwajibkannya orang mempunyai “akte kelahiran” untuk menandai kelahirannya dan “akte kematian” untuk mencatat kematiannya. Persyaratan tersebut diwajibkan oleh pemerintah untuk kepentingan penyusunan kebijakan kependudukan yang akan menjadi masukan bagi kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya.

Diluar urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan mutlak pemerintah pusat, menjadi urusan yang di desentralisasikan ke daerah. Konsekwensinya, semua urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Departemen, Kementrian dan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) diluar urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan mutlak pemerintah pusat, di desentralisasikan ke daerah. Argumen yang berkembang adalah sangat sederhana, kalau urusan tersebut tidak di desentralisasikan, maka akan memberikan argument bagi pusat untuk membentuk unit organisasi sebagai perpanjangan tangan mereka di daerah. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan menghidupkan kembali praktek lama yaitu membentuk Kanwil dan Kandep yang sejak reformasi telah dilebur kedalam Dinas, Badan atau Kantor milik pemerintah daerah sebagai konsekwensi dari diterapkannya otonomi yang seluas-luasnya pada era reformasi.

Pusat diperkenankan membuat unit organisasi (Balai, Unit Pelaksana Tehnis atau bentuk lainnya) hanya untuk mengerjakan urusan yang masih menjadi kewenangan pusat karena sifatnya yang strategis atau bersifat lintas Provinsi. Itupun sebenarnya pusat bisa memanfaatkan peran Gubernur sebagai wakil pusat untuk melaksanakan pekerjaan tersebut melalui pemanfaatan azas dekonsentrasi. Namun kecenderungan yang terjadi adalah pusat cenderung untuk membentuk sendiri lembaga tersebut dengan menempatkan pejabat-pejabat pusat di daerah; hampir sejenis Kanwil dimasa lalu walaupun dengan kewenangan sangat terbatas.

Akibat di desentralisasikannya semua urusan pemerintahan  diluar enam urusan yang menjadi kewenangan mutlak pemerintah pusat, maka otonomi daerah di Indonesia menjadi otonomi yang sangat luas, jauh melampaui otonomi daerah di Negara-negaa maju apalagi di Negara berkembang. Ada 31 urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Urusan-urusan tersebut adalah:

1.    Sosial    
2.    Lingkungan Hidup
3.    Perdagangan
4.    Kelautan dan Pertikanan
5.    Kehutanan
6.    Pendidikan
7.    Kesehatan
8.    Usaha Kecil dan Menengah
9.    Tenaga Kerja dan Transmigrasi
10. Pertanian dan Perkebunan
11. Pertambangan (Enerji dan Sumber Daya MineralESDM)
12. Perhubungan
13. Penanaman Modal
14. Kebudayaan dan Pariwisata
15. Kependudukan
16. Pemberdayaan Perempuan
17. Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera
18. Perindustrian
19. Pekerjaan Umum
20. Penataan Ruang
21. Pemuda dan Olah Raga
22. Komunikasi dan Informasi/ Kominfo
23. Perumahan
24. Arsip
25. Pertanahan
26. Kesatuan Bangsa dan Politik /Kesbang Pol
27. Statistik
28. Pemerintahan Umum
29. Pemberdayaan Masyarakat Desa/PMD
30. Kepegawaian
31. Perpustakaan

Dikaitkan dengan penyediaan pelayanan public, maka daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus pelayanan public sesuai dengan 31 urusan pemerintahan yang telah diserahkan ke daerah. Dibandingkan dengan otonomi baik di Negara maju maupun berkembang, ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik yaitu:

Pertama; Indonesia meng-adopsi otonomi yang sangat luas sehingga menjadilah otonomi daerah di Indonesia otonomi yang terluas di dunia (the most extensive regional autonomy in the world). Keuntungan dari posisi tersebut adalah terjadinya “shifting” yang luar biasa dari yang dulunya Negara yang sangat sentralistik menjadi Negara yang sangat desentralistik tanpa suatu gejolak yang membahayakan secara signifikan keutuhan bangsa dan Negara. Walaupun di beberapa daerah terjadi ekses “kebablasan”. Namun Indonesia menjadi salah satu Negara yang sangat berani melakukan shifting tersebut dan berhasil melampaui masa transisi tersebut tanpa perpecahan.

Kedua; peran untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan diserahkannya kewenangan yang sangat luas menjadi sangat terbuka bagi daerah. Kondisi tersebut akan menghilangkan stigma bahwa orang daerah adalah orang yang tidak mampu, tidak kompeten untuk memajukan bangsa. Ini merupakan momentum bagi daerah untuk menghilangkan stigma tersebut. Ibarat permainan bola dan bola sudah ada di daerah. Tujuan filosofis dari otonomi daerah yaitu memacu kesejahteraan di tingkat local yang kemudian secara agregat akan menyumbang pada kesejahteraan nasional, menjadi sangat terbuka bagi daerah. Keberhasilan daerah akan memberikan insentif untuk mencegah urbanisasi karena pemerataan pembangunan dan kesempatan kerja akan terbentuk di daerah. Daerah akan menjadi ujung tombak dan sebagai penggerak utama (prime mover) bagi perekonomian daerah. Kesempatan tersebut jarang terjadi dalam era sentralisasi dimasa lalu atau di Negara-negara berkembang di berbagai belahan dunia.

Ketiga; Resiko otonomi luas akan memberikan dampak dua sisi. Kalau daerah berhasil akan memberikan sukses bagi otonomi daerah dan bahkan bukan mustahil otonomi daerah Indonesia akan menjadi model bagi otonomi daerah Negara-negara berkembang lainnya. Pusat akan lebih berkonsentrasi pada urusan-urusan strategis nasional dan internasional dan daerah akan focus pada pelaksanaan urusan-urusan local yang difasilitasi oleh kebijakan strategis nasional yang kokoh. Namun sebaliknya kalau daerah gagal dalam memanfaatkan momentum otonomi luas tersebut, bukan mustahil demi kepentingan nasional, pemerintah pusat secara bertahap akan melakukan resentralisasi untuk urusan-urusan yang berdampak strategis nasional. Hal tersebut akan mengembalikan pendulum pemerintahan menuju sentralisasi yang bukan mustahil akan bermuara kepada chaos. Daerah sudah terbiasa dengan otonomi luas dan ketika ditarik kembali, hal tersebut berpotensi menciptakan ketidak puasan elit daerah yang bahkan bisa bermuara pada gerakan sentrifugal dalam bentuk gerakan separatism.

Dari gambaran tersebut diatas nampak jelas perlunya peningkatan kapasitas daerah agar mampu melaksanakan tanggung jawab yang besar yang dipercayakan bangsa dan Negara kepada daerah dalam bentuk otonomi luas. Ada dua sisi yang harus ber-sinerji yaitu sisi pemerintah pusat dan sisi pemerintah  daerah. Dari sisi pusat harus dibentuk suatu “mind set” bahwa menjadi tanggung jawab pusat untuk memberdayakan daerah. Untuk itu maka jenis program dan kegiatan yang disusun pusat terkait dengan daerah adalah kegiatan-kegiatan pemberdayaan (capacity building), monitoring dan evaluasi serta fasilitasi agar daerah mampu melaksanakan otonomi secara optimal. Kebijakan insentif dan dis-insentif mejadi sangat signifikan untuk memacu daerah dalam melaksanakan otonomi daerah mengupayakan kesejahteraan rakyat.

Elite di pusat harus memahami bahwa tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan urusan pemerintahan ada ditangan Presiden sebagaimana ketentuan Pasal 4 (1) UUD 1945. Pusat harus bersikap seperti orang tua yang selalu membimbing dan membina daerah yang berperan sebagai anak-anaknya. Hubungan pusat dan daerah ibarat hubungan orang tua dan anak-anaknya. Tidak ada anak yang salah; yang salah adalah orang tua yang kurang membimbing. Pada sisi lain si anak juga harus memahami kedudukan dan perannya sebagai anak. Jangan sampai menjadi anak durhaka yang cenderung selalu melawan orang tua dan tidak mau mengikuti bimbingan orang tua, karena sudah merasa lebih pintar dari orang tuanya. Apabila pola hubungan kekeluargaan tersebut yang di adopsi dalam konteks otonomi daerah di Indonesia, maka bukan mustahil otonomi Indonesia akan menjadi model otonomi daerah yang layak dikembangkan di Negara-negara berkembang atau setidaknya di Negara yang karakter masyarakatnya seperti Indonesia. Dan kita patut berbangga untuk itu.


IV. MEMPERSIAPKAN KADER DAERAH

Telah terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam pengaturan pemerintahan dalam era reformasi dewasa ini. Diberikannya otonomi luas kepada Daerah dalam koridor UU 32/2004 telah memulai era baru dalam pengelolaan otonomi daerah. Dimasa lalu budaya minta petunjuk dan arahan dari pemerintahan atasan selalu menjadi agenda utama dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Sekarang ini otonomi luas telah memberikan diskresi yang luas bagi daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.

Pada sisi lain berkembangnya gejala globalisasi yang dipicu oleh teknologi komunikasi dan informasi menyebabkan kaburnya batas-batas negara. Munculnya "borderless society" akibat globalisasi tersebut telah merubah sendi-sendi kehidupan negara bangsa (nation state). Adalah tidak berlebihan kemudian Konichi Omae menamakan kondisi masa depan tersebut sebagai "the end of nation state".

Terjadinya kecenderungan negara-negara menyatukan diri kedalam ikatan-ikatan yang dipersatukan oleh kepentingan bersama baik karena latar belakang politik, pertahanan dan akhir-akhir ini yang dipicu oleh kepentingan ekonomi telah melahirkan pengelompokan negara-negara dalam EEC, AFTA, NAFTA dsb. Neisbitt mensinyalir terjadinya anomali seperti "global Paradox" dalam kehidupan negara bangsa yang didorong oleh kepentingan dari bangsa-bangsa tersebut.

Kondisi anomali tersebut telah mendorong berbagai pendekatan yang sering bertentangan dalam kehidupan bernegara. Negara-negara Eropa Barat yang bergabung dalam EEC atau Masyarakat Ekonomi Eropa bisa menerapkan dua values yang berbeda secara bersamaan. Ketika mereka harus berhadapan dengan kelompok negara-negara lain seperti NAFTA, AFTA maka mereka bersatu dan seolah-olah bersifat sentralistik. Munculnya Parlemen Eropa, uang Eropa (Euro), pertahanan bersama (NATO) memperlihatkan gejala sentralisasi. Namun ketika mereka kembali ke negara masing-masing, maka mereka menjadi desentralistik. Pada sisi lain China dengan dua sistem yang mengkombinasikan antara sentralistik secara politis dan desentralistik secara ekonomis telah menunjukkan kemajuan yang begitu mengesankan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi diatas 10% selama lebih dari dua dekade.

Gejala tersebut juga akan menular ke Indonesia. Pesatnya teknologi komunikasi dan informasi akan menciptakan negara tanpa batas. Pemerintah sebagai lembaga yang mempunyai otoritas untuk melindungi dan mensejahterakan rakyat dituntut untuk merubah strategi pengelolaan pemerintahan termasuk penyelenggaraan pemerintahan daerah. Terlebih dengan terjadinya reformasi yang berintikan demokratisasi dan otonomi daerah menuntut reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan baik di Pusat maupun daerah. Euforia demokrasi, kalau kurang disikapi secara hati-hati akan menjadi bumerang terhadap demokrasi itu sendiri.

Pemerintahan daerah yang mempunyai dua misi utama yaitu sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal dan instrumen menciptakan kesejahteraan memerlukan perubahan juga dalam pengelolaannya. Diperlukan adanya perubahan-perubahan yang signifikan baik dalam kewenangan, kelembagaan, personil, keuangan, perwakilan, pelayanan publik dan pengawasan sebagai elemen-elemen dasar dari pemerintahan daerah.

IPDN sebagai sekolah yang mencetak kader-kader birokrasi pemerintahan dan khususnya pemerintahan daerah dituntut untuk mampu menjawab tantangan tersebut. Pola pendidikan dan muatan kurikulum harus disesuaikan dengan tantangan yang muncul. Dua tekanan  yang dihadapi oleh sektor pemerintahan yaitu; tekanan globalisasi dan tekanan reformasi. Tekanan globalisasi menuntut terbentuknya pemerintahan yang efektip dan efisien serta ekonomis melalui pengedepanan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Sedangkan tekanan reformasi akan menuntut pemerintahan yang mampu mengedepankan sendi-sendi demokratisasi yaitu partisipasi, transparansi dan akuntabilitas.

Kedua tantangan tersebutlah yang harus mampu dijawab oleh IPDN dimasa sekarang dan dimasa depan. Ini menuntut pengelolaan pendidikan yang berorientasi kepada dua tantangan tersebut. Tamatan IPDN dituntut untuk mampu menjawab tantangan globalisasi dan tantangan  demokrasi sebagi buah dari reformasi.

Dari uraian diatas maka perlu adanya pengajaran yang tepat bagi para kader birokrasi daerah dalam menjawab tantangan globalisasi dan demokratisasi tersebut. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan di IPDN yaitu:

1.       Meningkatnya pengetahuan akademis dari mahasiswa IPDN dalam bidang pemerintahan dalam arti memahami tataran filosofis dan legalistic dari otonomi daerah dan berbagai implikasinya
2.       Meningkatnya kemampuan dan pengetahuan mahasiswa dalam memahami kecenderungan-kecenderungan global yang terjadi dan mengambil manfaatnya untuk kepentingan local (Think globally but act locally).
3.       Meningkatnya kemampuan memahami isu-isu partisipasi, akuntabilitas dan transparansi sebagai esensi dari pemerintahan yang demokratis. Termasuk didalamnya kemampuan untuk memahami konstelasi politik local yang terjadi serta kaitannya dengan konstelasi politik nasional. Bagaimana menjaga profesionalisme dalam turbulensi politik local yang terjadi

Untuk mampu membekali mahasiswa dengan pengetahuan tersebut maka sebaiknya pengajaran jangan hanya bersifat “classical” atau di kelas saja tapi juga harus kombinasi antara teori di kelas dengan praktek di lapangan. Pemakaian teknologi informasi (IT) harus sudah merupakan keniscayaan.

Untuk meningkatkan daya kritis mahasiswa dalam membangun sikap yang demokratis, mahasiswa harus dibiasakan berlatih berdebat secara ilmiah. Mahasiswa diikutkan dalam debat public baik yang ada di TV maupun dalam berbagai forum seminar atau workshop. Mahasiswa harus dilatih untuk menuangkan buah pikiran dalam paper atau makalah yang kemudian harus dipertahankan dalam debat atau diskusi yang bersifat akademis.

Untuk menambah wawasan mahasiswa, secara periodic undang duta-duta besar Negara sahabat untuk memberikan kuliah umum menganai system pemerintahan di Negara tersebut. Bagaimana hubungan pusat dan daerah; bagaimana kebijakan desentralisasi di Negara yang bersangkutan. Dengan cara tersebut mahasiswa akan mendapatkan wawasn komparatif yang luas dari pelaksanaan otonomi daerah di berbagai Negara. Hasilnya bisa di kompilasi menjadi bahan  ajar Perbandingn Pemerintahan Daerah dari berbagai Negara. Untuk mampu menjawab semua tantangan tersebut maka kemampuan berbahasa Inggris merupakan kebutuhan yang tidak terelakkan sebagai medium komunikasi internasional yang standard.

 


KESIMPULAN

Berbagai uraian diatas akan memberikan pegangan bagi kita untuk memahami otonomi daerah di Indonesia yang sedikit banyak filosofinya agak berbeda dengan otonomi daerah dari Negara-negara lainnya. Kita harus mampu memahami dimana posisi daerah dalam system pemerintahan di Indonesia. Kita juga mengetahui bagaimana hubungan pusat dan daerah dalam konteks otonomi daerah.

Setiap Negara mempunyai jalan sendiri-sendiri dalam perjalanan otonominya. Kita tidak perlu silau melihat system Negara lain dan berpikir bahwa system mereka lebih baik dari system kita. Persoalan mendasar yang kita hadapi adalah bukan terletak pada system yang dianut tapi bagaimana hasil akhir dari penyelenggaraan otonomi daerah tersebut. Dua indicator yang dapat dijadikan acuan apa otonomi telah mencapai tujuannya secara optimal yaitu:

Pertama; sejauhmana otonomi suatu Negara telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat local yang secara agregat akan menyumbang kepada kesejahteraan nasional. Kesejahteraan ditandai dengan meningkatnya kuantitas dan kualitas pelayanan public yang disediakan oleh pemerintah daerah. Meningkatnya pelayanan public terutama dalam penyediaan pelayanan dasar dan pengembangan sector unggulan sebagai tulang punggung perekonomian daerah akan  menjadi fondasi utama bagi daerah mensejahterakan warganya.

Kedua; sejauhmana keberadaan pemerintah daerah telah mendukung proses pendidikan politik di tingkat local yang secara komulatif akan menyumbang kepada pendidikan politik secara nasional untuk mendukung terwujudnya masyarakat madani (civil society). Berbagai kegiatan daerah merupakan wahana pendidikan politik masyarakat seperti proses pemilihan kepala daerah, konsultasi public, penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), proses penyusunan perda yang melibatkan public adalah hal-hal yang terkait dengan pendidikan politik masyarakat local. Keberhasilan pendidikan politik di tingkat local tersebut secara komulatif akan menyumbang kepada pendidikan politik secara nasional mendukung proses demokratisasi menuju masyarakat madani.

Apabila kedua tujuan otonomi daerah tersebut menunjukkan peningkatan, maka terlepas dari system apapun yang kita anut, baru kita boleh berbangga bahwa kita berhasil dalam otonomi daerah. Namun ketika kedua indicator utama tersebut belum tercapai, maka terlalu premature atau berlebihan kalau kita mengatakan otonomi daerah kita sukses.

Untuk itulah maka tantangan yang dihadapi oleh IPDN sebagai institusi pendidikan yang mencetak kader pemerintahan daerah adalah bagaimana mahasiswa IPDN mampu membekali diri dalam dua aspek utama yaitu kemampuan memahami otonomi luas pasca reformasi dan kemampuan mengedeopankan nilai-nilai demokrasi sebagai buah dari reformasi. Untuk mampu menjawab tantangan tersebut maka diperlukan adanya metodologi untuk menjawab kedua tantangan tersebut. Dengan metodologi yang tepat alumni IPDN akan mampuy menjawab tantangan tersebut dalam masa baktinya sebagai birokrasi daerah



BIBLIOGRAPHY

Allen,H.JB.(1985). Enhancing Decentralisation for Development,      The Hague: IULA.

Ball,A.R. (1985). Modern Politics and Government. London:           MacMillan.

Barbour,GP.et al.(1984). Handbook: Excellent in Local               Government Management, Washington: ICMA.

Bintoro,T & Mustopadidjaja,AR.(1988). Kebijaksanaan dan             Administrasi Pembangunan, Jakarta: LP3ES.

Bowman,M and Hampton,W.(1983). Local Democracies: A Study in        Comparative Local Government, Melbourne: Longman.

Byrne,T.(1985).  Local Government in Britain, Middlesex:            Penguin Book.

Cochrane,G.(1987). Policies for Strengthening Local Government      in Developing Countries, World Bank.

Davey,K.(1989). Strengthening Municipal Government, The World       Bank.

Davey,K. (1985). The Future Role of Local Government. INLOGOV-      University of Birmingham.

Devas,N.(1987). Inter-governmental Financial Relations in           Indonesia. University of Birmingham.

Griffiths,A. (1987). Local Government Administration. London:       Shaw and Sons.

Gyford,J and James,M. (1983). National Parties and Local            Politics. London: George Allen and Unwin.

Hambleton,R and Hoggett,P (Ed.) (1984). The Politics of             Decentralisation: Theory and Practice of a Radical Local        Government Initiative. Bristol: Saus.

Hampton,W.(1987). Local Government and Urban Politics, London:      Longman.








CURICULUM VITAE



NAMA           : DR.MADE SUWANDI MSoc.Sc
LAHIR          : KLUNGKUNG,BALI, 21 JUNI 1953
JABATAN                DIREKTUR URUSAN PEMDA, DITJEN OTDA, DEPDAGRI
ALAMAT                 : DEPDAGRI, JL.MERDEKA UTARA 7-8 JAKARTA
EMAIL          : made_suwandi@yahoo.co.id
                             kapasda05@yahoo.co.id
CELL PHONE : 0816-914482


PENDIDIKAN TAMAT:


1.    APDN BANDUNG 1975
2.    IIP JAKARTA 1980
3.    MASTER OF SOCIAL SCIENCE, UNIVERSITY OF BIRMINGHAM, ENGLAND, 1988
4.    DOCTOR IN LOCAL GOVERNMENT STUDIES, UNIVERSITY OF BIRMINGHAM, ENGLAND, 1992


PENGALAMAN AKADEMIS DAN SEMINAR:

1.       Dosen Pasca Sarjana Universitas Indonesia, IIP Jakarta, STIE, UNKRIS, dan IPDN.
2.       Short Course on Private Partnership in Urban Services (PURSE)  in Harvard University, Cambridge, Massachusset, USA, 1993.
4.       Short Course on Local Government in Local Autonomy College, Tokyo, Japan, 1994.
5.       Short Course on Urban Management, Birmingham University, England, and IHS Rotterdam, Holland, 1994.
6.       Seminar on Mega City, Asian Development Bank, Manila, 1995.
7.       Short Course on Management Research, Birmingham University, 1997.
8.       Seminar on Civil Society, Hamburg, Germany, 1998
9.       Seminar on Governance, Manila, 1999
10.     Study Comparative on European Local Government, Amsterdam and London, 2000
11.     Seminar Asian Forum, Bangkok, May, 2001
12.     Conference on Decentralization, Georgia State University, Atlanta, USA, May 2002.
13.     Comparative on USA Decentralization, USA, July 2002.
14.     Symposium on Indonesian Decentralization, Hitotsubashi University, Tokyo, January 2003
15.     Comparative Study on South Africa Decentralization, Johannesburgh, May 2003
16.     Seminar on Poverty Reduction Strategy, Phonm Penh, Cambodia, October 2003
17.     Seminar on Service Delivery, Manila, Januari 2004
18.     Seminar on Millenium Development Goals, Manila, May 2004
19.     Comparative Study on South Africa Decentralisation Desember 2004
20.     Seminar on Poverty Alleviation, Hyderabad, India, Desember 2006
21.     Seminar on Strengthening Human Right, Vancouver, Canada, May 2007
22.     Comprative Study on Decentralisation, Berlin, Germany, November 2007.
23.     Study on Eastern European Local Government, Budapest, May 2008
24.     Workshop on South-South Cooperation, Art Gold, Southern Province, Srilanka, August 2008
25.     Workshop on Forest Decentralisation, Hessen, Germany, October 2008
26.     Seminar on Environment and Local Government, CLAIR, Tokyo and Sendai 27 July – 2 August 2009.


DR.Made Suwandi Msoc.sc


Tidak ada komentar:

Posting Komentar