MENGELOLA
HUBUNGAN PELAYANAN PUBLIK
(Metodologi Penyediaan
Pelayanan Publik dari Sisi Pemerintah Daerah dan Sisi Masyarakat)
OLEH:
DR.MADE SUWANDI Msoc.sc
JAKARTA - 2010
MENGELOLA
HUBUNGAN PELAYANAN PUBLIK
DR.Made Suwandi
Msoc.sc
I.1. HUBUNGAN OTONOMI DAERAH DENGAN PELAYANAN PUBLIK
Legal basis yang memberikan
payung hukum bagi daerah dalam menyediakan pelayanan publik adalah adanya
kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan daerah. Luas
dan sempitnya urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah otonom akan
menentukan luas atau sempitnya isi otonomi daerah ybs. Akar dari pemberian
otonomi daerah berpangkal pada kebijakan desentralisasi yang dilakukan oleh
elite penguasa dari suatu Negara. Paradigma yang terjadi adalah dalam Negara
yang menganut pendekatan sentralistik dalam mengelola pemerintahannya, akan
sedikit urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah. Sebaliknya pada Negara
yang menganut kebijakan desentralistik dan umumnya terjadi di Negara-negara
yang mengedepankan demokrasi, cenderung daerah diberikan kewenangan yang luas
dalam mengelola urusan pemerintahan.
Ini berarti luas tidaknya
kewenangan yang dimiliki daerah dalam menyediakan pelayanan public akan sangat
tergantung pada banyak tidaknya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada
daerah tersebut melalui kebijakan desentralisasi dari elite penguasa.. Pada
akhirnya hampir semua urusan pemerintahan akan bermuara pada pelayanan public.
Daerah yang diberikan otonomi yang luas akan mempunyai kewenangan yang luas
dalam menyediakan pelayanan public kepada warganya.
Pada perkembangan selanjutnya
makin maju suatu Negara secara social, ekonomi dan politis akan semakin sedikit
peran langsung pemerintah dalam penyediaan pelayanan public. Pemerintah baik di
Pusat maupun daerah akan lebih banyak berkonsentrasi dalam penyusunan kebijakan
(steering) dibandingkan sebagai penyedia langsung pelayanan (rowing). Akan lahir
berbagai variasi dalam penyediaan pelayanan public baik dalam bentuk privatisasi
murni atau sepenuhnya oleh pihak swasta; kemitraan pemerintah dengan swasta
yang melahirkan berbagai skema seperti BOT, BOL, BOO, BTO dan berbagai bentuk
privatisasi lainnya.
Dari aspek Konstitusi, dasar
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dilacak dalam kerangka konstitusi
NKRI. Apabila kita menelusuri UUD 1945 khususnya dalam Pembukaannya, pada
alinea ketiga disebutkan bahwa:
“Atas berkat rakhmat
Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan
oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya”.
Kemudian dalam alinea keempat lebih
lanjut dikatakan bahwa:
“Kemudian dari pada itu untuk
membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu
dalam suatu UndangUndang
Dasar Negara Indonesia, yang
terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia dst……. “.
Dari kedua alinea tersebut
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Alinea ketiga menyatakan bahwa
bangsa Indonesia atas berkat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa menyatakan
kemerdekaannya.
Alinea keempat memberikan tindak
lanjut yang dilakukan bangsa Indonesia setelah menyatakan kemerdekaannya dari
aspek pemerintahan. Pertama adalah membentuk “Pemerintah Negara Indonesia”.
Pemerintah yang mengurus kemerdekaan bangsa Indonesia. Dari sini kita lihat
esensi dibentuknya Pemerintah Nasional yang mengurus bangsa yang baru merdeka
tersebut. Statemen tersebut menunjukkan dianutnya paham Negara kesatuan
(unitary state) di Indonesia yang baru merdeka tersebut. Dalam Negara kesatuan
Pemerintah Pusat yang muncul dulu baru kemudian diikuti dengan pembentukan
pemerintahan daerah oleh Pemerintah Pusat. Kondisi tersebut membedakannya
dengan Negara federal. Dalam Negara federal, daerah yang umumnya muncul dulu;
baru kemudian daerah-daerah tersebut bersefakat untuk membentuk federasi yang
kemudian bermuara pada terbentuknya Negara federal.
Konsekwensi dari Negara
kesatuan dilihat dari sisi kekuasaan pemerintahan adalah bahwa sumber kekuasaan
ada ditangan Pemerintah Pusat. Dari UUD 1945 kita bisa temukan hal
tersebut dari Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa:
“Presiden memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Ini secara eksplisit memberikan
indikasi bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan dan otomatis juga
tanggung jawab akhir pemerintahan ada ditangan Presiden (The ultimate
responsibility lies upon the President).
Ketika Pusat membentuk Daerah;
tergantung pada Pemerintah Pusat sejauhmana kekuasaan pemerintahan tersebut akan
diberikan ke daerah dan menjadi isi rumah tangga atau otonomi daerah tersebut.
Hal ini tergantung pada kemauan politik elite yang berkuasa. Dalam Negara yang
menganut paham sentralistik, sedikit kekuasaan pemerintahan atau kewenangan
yang diberikan ke daerah. Sebaliknya pada Negara yang menganut paham
desentralistik, dan umumnya dijumpai pada Negara-negara demokratis, ada
kecenderungan daerah diberikan kewenangan yang luas untuk menangani
urusan-urusan pemerintahan yang bersifat local dengan ekternalitas lokal dengan
tujuan mendekatkan pemerintah kepada
masyarakat sehingga mudah untuk meminta akuntabilitas pemerintah daerah
dibandingkan meminta akuntabilitas tersebut ke Pusat yang jauh dari masyarakat.
Pelajaran lanjutan yang kita
dapat dari konstitusi adalah bahwa Pemerintah Daerah melaksanakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden. Disisi lain Presiden menjadi
penanggung jawab akhir pemerintahan. Konsekwensi logis berikutnya adalah bahwa
sudah seyogyamnya juga Presiden melakukan pembinaan dan pengawasan (binwas)
kepada pemerintah daerah agar pemerintah daerah mampu melaksanakan urusan
pemerintahan yang diserahkan ke daerah secara optimal.
Presiden sebagai pemegang
kekuasaan eksekutif dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri-Menteri. Menteri
Dalam Nregeri adalah pembantu Presiden di bidang otonomi daerah, namun terbatas
pada hal-hal yang bersifat umum. Maka Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan
dan pengawasan yang bersifat umum terhadap Pemerintah Daerah. Pada sisi lain
Menteri Tehnis yang sebagian kewenangannya diserahkan ke daerah mempunyai
kewajiban membina dan melakukan pengawasan yang bersifat tehnis ke daerah. Dari
konstruksi tersebut kita bisa melihat bahwa Menteri Dalam Negeri atas nama
Presiden menjadi kordinator bagi Menteri Tehnis dalam melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap daerah agar otonomi daerah dapat berjalan secara optimal.
Dari uraian diatas, ciri umum
penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia dalam koridor UUD 1945 adalah :
1. Pemerintah daerah merupakan
hasil pembentukan oleh Pemerintah, bahkan dapat dihapus oleh Pemerintah melalui
proses hukum.
2. Dalam rangka
desentralisasi, di wilayah Indonesia dibentuk Provinsi dan di wilayah Provinsi
dibentuk Kabupaten dan Kota sebagai daerah otonom.
3. Sebagai konsekuensi kedua
hal diatas, maka kebijakan desentralisasi dilakukan oleh Pemerintah, sedangkan
penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, serta masyarakat sebagai cerminan pemerintahan yang
demokratis.
4. Hubungan antara pemerintah
daerah otonom dengan pemerintah nasional (Pusat) adalah bersifat tergantung
(dependent) dan bawahan (sub-ordinate). Hal ini berbeda dengan hubungan antara
negara bagian dengan pemerintah federal yang menganut prinsip federalisme, yang
sifatnya independent dan koordinatif.
5. Penyelenggaraan
desentralisasi menuntut persebaran urusan pemerintahan oleh pemerintah kepada
daerah otonom sebagai badan hukum publik. Urusan pemerintahan yang
didistribusikan hanyalah merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi
Pemerintah dan tidak mencakup urusan yang menjadi kompetensi Lembaga Negara
yang membidangi legislatif atau lembaga pembentuk Undang-undang dan yudikatif
ataupun lembaga Negara yang berwenang mengawasi keuangan Negara, walaupun DPRD
diberi wewenang untuk mengatur urusan Daerah bersama Kepala Daerah.
6. Mengingat urusan
pemerintahan bersifat dinamik maka dalam penyerahan urusan pemerintahan
tersebut selalu mengalami perubahan dari masa ke masa. Untuk menjamin
kepastian, perubahan-perubahan tersebut perlu didasarkan pada peraturan
perundang-undangan. Oleh sebab itu selalu ada dinamika inter-governmental task
sharing (pembagian urusan pemerintahan) antara level pemerintahan
Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pemerintah Pusat.
7. Sisi demokratisasi pada Pemda
berimplikasi bahwa Pemda dijalankan oleh masyarakat sendiri melalui wakil-wakil
rakyat yang dipilih secara demokratis dan dalam menjalankan misinya untuk
mensejahterakan rakyat, wakil-wakil rakyat tersebut akan selalu menyerap,
mengartikulasikan serta meng-agregasikan aspirasi rakyat tersebut kedalam
kebijakan-kebijakan publik di tingkat lokal. Namun kebijakan publik di tingkat
lokal tidak boleh bertentangan dengan kebijakan publik nasional dan
diselenggarakan dalam koridor-koridor norma, nilai dan hukum positif yang
berlaku pada negara dan bangsa tersebut.
II. PELAYANAN PUBLIK YANG BERORIENTASI KEPADA
KESEJAHTERAAN
Salah satu dimensi dari
kebijakan desentralisasi adalah adanya penyerahan urusan pemerintahan yang
menjadi domain Pemerintah Daerah. Semua urusan pemerintahan akan bermuara pada
pelayanan public. Pelayanan public ada yang bersifat pengaturan (regulating)
seperti perijinan, KTP, KK, IMB dsb. Ada juga pelayanan public yang sifatnya
non regulation seperrti pelayanan pendidikan, kesehatan, jalan raya,
persampahan dll.
Semua pelayanan public
tersebut ditujukan untuk menjawab amanat Konstitusi yaitu memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pertanyaan berikutnya
adalah apa ukuran sejahtera itu. Menurut konsep Human Development Index (HDI),
suatu konsep yang dikembangkan oleh Mahbub Ul Haq seorang ekonom Pakistan
bersama dengan Amartya Sen dari India menyatakan bahwa suatu bangsa dikatakan
sejahtera apabila memenuhi tiga criteria utama yaitu:
1. A long and healthy life measured by life expectancy at birth
2. Knowledge measured by adult literacy (at least 70%) and the combined
primary secondary, and tertiary gross enrollment ratio (at least 30%)
3. Decent standard of living as measured by GDP per capita at purchasing
power parity in US dollar.
Dengan tiga ukuran tersebut,
kita dapat mengetahui posisi kita di dunia dalam hal kesejahteraan berdasarkan
pada konsep HDI atau di Indonesia dikenal dengan istilah Indeks Pembangunan
Manusia (IPM), Konsep tersebut juga
dipakai oleh United Nations Development Programme (UNDP) salah satu lembaga
milik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengukur tingkat kesejahteraan
bangsa-bangsa di dunia. Posisi Indonesia menurut hasil survey UNDP terhadap 179
negara di dunia tahun 2006 yang hasilnya dipublikasikan pada 18 Desember 2008
adalah sebagai berikut:
1. ICELAND 0,968
2. NORWAY 0,968
3. CANADA 0,967
4. AUSTRALIA 0,965
8. JAPAN 0,956
15. USA 0,950
21. UK 0,942
25. KORSEL 0,928
27. BRUNEI 0,919
28. SINGAPORE 0,918
63. MALAYSIA 0,823
81. THAILAND 0,786
102. PHILIPPINE 0,745
109. INDONESIA 0,726
Data diatas menunjukkan bahwa
Indonesia menduduki posisi nomor 109 dari 179 negara yang di survey. Dalam
konteks otonomi daerah, tantangannya adalah bagaimana otonomi daerah mampu
menjadi instrument bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan di
tingkat local yang pada gilirannya secara agregat akan menyumbang kepada
peningkatan kesejahteraan nasional.
Disamping DPRD yang bertugas
untuk mewakili rakyat daerah dalam mengelola urusan pemerintahan yang
diserahkan oleh Presiden, ada juga actor kedua yang bernama “Kepala Daerah”.
Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui mekanisme Pemilihan Langsung
Kepala Daerah (Pilkada). Dengan demikian berarti bahwa Kepala Daerah adalah
orang yang dipilih rakyat, dapat mandat rakyat dan bertugas mengurus rakyat.
Apa yang diurus; adalah urusan yang diberikan Pemerintah (domain kewenangan
Presiden) kepada rakyat. Untuk apa diurus; adalah untuk mensejahterakan rakyat,
meningkatkan IPM sebagai indicator kesejahteraan.
Dengan demikian berarti ada
dua actor yang mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan kepada rakyat
yaitu; DPRD dan Kepala Daerah. Agar DPRD dan Kepala Daerah mampu melaksanakan
perannya secara optimal, maka mereka dibantu oleh Pegawai Negeri Sipil Daerah
(PNSD). Ada Pegawai yang membantu Kepala Daerah yaitu Sekretaris Daerah (Sekda)
beserta jajarannya. Ada juga yang membantu DPRD yaitu Sekretaris Dewan (Sekwan)
beserta jajarannya. Sekda dan Sekwan beserta jajarannya tersebut yang membentuk
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) baik yang berbentuk Dinas, Badan, Kantor
atau secretariat.
Dapat disimpulkan bahwa yang
mengelola urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah adalah Kepala Daerah
bersama DPRD dan dibantu oleh Perangkat Daerah. Itu juga yang menjadi argument bahwa
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan oleh Kepala Daerah dan
DPRD dibantu oleh Perangkat Daerah. Konsekwensi logisnya adalah baik Kepala
Daerah maupun DPRD adalah sama-sama unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Kalau Kepala Daerah dan DPRD
adalah pejabat politis, maka PNS adalah pejabat karir yang berbasis
meritokrasi. Dari aspek rekrutmen; pejabat politis dipilih langsung oleh rakyat
dan mendapat mandate rakyat untuk mensejahterakan rakyat sesuai dengan visi dan
misi yang ditawarkannya kepada rakyat. Ini berarti mereka mempunyai kewajiban
membuat kebijakan-kebijakan strategis mau dibawa kemana rakyat dalam masa 5
tahun kedepan. Sedangkan PNS adalah pejabat karir yang direkrut berdasarkan
kompetensi tehnis yang bertugas menterjem,ahkan kebijakan strategis dari
pejabat politis menjadi kebijakan yang bersifat operasional. Masing-masing
harus mampu mengembangkan kapasitas kompetensinya tanpa harus saling
meng-intervensi satu sama lain dalam mengembangkan profesionalismenya. Kepala
Daerah dan DPRD meningkatkan profesionalisme dalam pembuatan kebijakan
strategis dan politis, sedangkan PNS berkewajiban menuingkatkan profesionalisme
tehnis dan manajerialk sesuai bidang tugasnya.
Konstruksi pemerintahan daerah
dengan pemerintahan di pusat berbeda. Di tingkat pusat pemerintah terdiri dari
Presiden dibantu wakil Presiden dan Menteri-Menteri. Keseluruhan pengelola
Negara Republik Indonesia dikenal dengan istilah Sistem Administrasi Negara
Republik Indonesia (SANRI). Sedangkan di tingkat daerah yang mengelola
pemerintahan daerah adalah Kepala Daerah dengan DPRD dibantu oleh Perangkat
Daerah yang tergabung dalam Dinas, Badan, Kantor dan secretariat ditambah
dengan Kecamatan dan Kelurahan di tingkat Kabupaten/Kota.
III. RUANG LINGKUP OTONOMI DAERAH
Otonomi berasal dari dua suku
kata yaitu “auto” artinya sendiri dan “nomos” artinya mengatur. Dalam konteks
otonomi daerah, maka ketika daerah sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang
bertempat tinggal dalam batas-batas wilayah tertentu dan kepada mereka
diberikan otonomi daerah, maka itu berarti masyarakat di daerah tersebut
mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus dirinya sesuai dengan ruang
lingkup urusan pemerintahan yang diberikan kepada daerah tersebut. Makin
sentralistis elite penguasa di tingkat nasional makin terbatas otonomi yang
diberikan ke daerah. Sebaliknya makin demokratis elit penguasa cenderung akan
semakin luas urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah yang bersangkutan.
Dari konotasi diatas akan
lahir konsep-konsep otonomi sempit atau terbatas atau otonomi luas. Dalam otonomi terbatas, daerah hanya
diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang
terbatas. Diluar urusan pemerintahan yang telah ditentukan menjadi isi otonomi
daerah dalam peraturan perundang-undangan, daerah tidak diperkenankan untuk
mengatur dan mengurusnya. Konsep ini
dikenal dengan istilah “ultra vires”. Beberapa kalangan akademisi memberikan
label “otonomi materiil” untuk konsep tersebut.
Dalam konsep otonomi luas atau
juga dikenal dengan istilah “general competence”, maka daerah diberikan
kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan yang luas
sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat. Daerah boleh melaksanakan urusan
apa saja sepanjang urusan tersebut bukan urusan pemerintahan yang menjadi
domain dari pemerintahan diatasnya. Segala sesuatu yang bersifat local yang
terkait dengan kepentingan local diberikan kepada unit pemerintahan local untuk
mengurusnya. Prinsip otonomi tersebut dikenal juga dengan istilah “subsidiarity
principle”.
Otonomi daerah yang dianut di
Indonesia khususnya setelah reformasi cenderung mengarah kepada otonomi luas,
namun bukan dalam konteks mengadopsi prinsip subsidiaritas. Kecenderungan yang
terjadi adalah apapun kewenangan pemerintahan yang ada di tingkat nasional
cenderung di otonomikan namun dalam skala local. Provinsi bertanggung jawab
atas semua urusan pemerintahan yang dilaksanakan di tingkat pusat tapi dalam
skala Provinsi atau lintas Kabupaten/Kota dalam Provinsi yang bersangkutan.
Demikian juga Kabupaten/Kota bertanggung jawab atas semua urusan pemerintahan
yang dilaksanakan oleh pusat namun dalam
skala Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Dikecualikan dari konsep
diatas adalah untuk urusan-urusan pemerintahan yang membahayakan keutuhan dan
kesatuan nasional dengan berbagai argument yang melatar-belakangi seperti:
1. Urusan Pertahanan; konsep ini bersifat universal. Di berbagai belahan
dunia seluas apapun otonomi yang diberikan ke daerah tidak pernah tentara di
desentralisasikan karena potensial akan menciptakan perang saudara manakala
terjadi konflik antar daerah.
2. Urusan keamanan khususnya terkait dengan kepolisian. Di berbagai Negara
polisi di desentralisasikan seperti Jepang, Phillipina, USA, Inggris, Kanada
dan lain-lainya. Namun di Indonesia polisi tidak di desentralisasikan. Oleh
karena itulah maka di Indonesia untuk menegakkan hukum produk daerah (perda)
dibentuklah satuan polisi pamong praja (Satpol PP).
3. Urusan Moneter; konsep ini
relative bersaifat universal. Sangat jarang ditemui Negara memberikan
kewenangan daerah untuk mencetak uang dan memberi nilai mata uang. Pengecualian terjadi di Hongkong SAR (Special
Administrative Region) setelah berintegrasi dengan China. Hongkong mempunyai
mata uang sendiri. Hanya aspek pertahanan dan politik luar negeri yang tetap
dipegang China.
4. Urusan Yustisi; banyak Negara yang mendesentralisasikan urusan ini dan
umumnya terjadi di Negara-negara federal. Di Indonesia urusan terkait
Kejaksaan, Penjara masih menjadi kewenangan pusat.
5. Urusan Politik Luar Negeri; yang dimaksud disini lebih kepada urusan
diplomasi. Secara universal urusan diplomasi masih menjadi kewenangan Pusat.
Kalau urusan diplomasi tersebut diserahkan ke daerah maka sangat berpotensi
akan dis-integrasi Negara. Syarat adanya suatu Negara adalah
a.
adanya rakyat;
b.
ada wilayah;
c.
ada pemerintahan dan
d.
pengakuan luar negeri.
Kalau diplomasi tersebut
diserahkan ke daerah, maka akan menjadi insentif bagi daerah-daerah yang tidak
puas dengan pemerintahan nasional, mencari pengakuan ke PBB untuk menjadi
Negara merdeka dan berdaulat.
6. Urusan Agama; konsep ini lebih bersifat politis. Dikhawatirkan kalau
daerah diberi kewenangan agama akan mendorong daerah menerapkan syariat agama
yang menjadi mayoritas agama di suatu daerah. Kondisi tersebut juga berpeluang
memecah belah kesatuan nasional. Walaupun kemudian semua urusan yang terkait
urusan agama dan berdampak local dan tidak berpotensi memecah persatuan
nasional akhirnya tetap dipegang pusat seperti urusan nikah, talak, rujuk,
urusan madrasah dan lain-lainnya.
Diluar keenam urusan
pemerintahan yang menjadi domain pusat, semuanya di desentralisasikan dalam
konsep otonomi luas di Indonesia. Namun konsep ini juga sering menimbulkan
kesalah pahaman dari para pemangku kepentingan ataupun praktisi otonomi daerah
di Indonesia baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Sebagian praktisi
daerah sering berpendapat bahwa semua urusan pemerintahan selain enam urusan
yang mutlak milik pusat adalah menjadi kewenangan daerah. Sebagian praktisi di
tingkat pusat juga berpikiran senada.
Kondisi tersebut yang kemudian
menyebabkan kegamangan dalam menyikapi otonomi daerah. Banyak praktisi di
tingkat pusat berpendapat bahwa semuanya sudah di otonomikan ke daerah, maka
tidak lagi ada kewenangan pusat untuk membina dan mengawasi daerah. Kalau suatu
urusan pemerintahan jelek hasilnya maka semua kesalahan akan dilemparkan ke
daerah sebagai unit pemerintahan yang tidak mampu menjalankan atau bahkan
merusak otonomi daerah. Sikap yang senada juga disuarakan oleh sebagian
praktisi daerah; kalau suatu urusan sudah di-otonomikan maka tidak lagi ada hak
pusat untuk mengatur-atur lagi daerah. Terjadi kesamaan persepsi antara pusat
dan daerah dengan arah yang salah.
Satu hal penting yang
terlupakan oleh kalangan yang be-persepsi salah tersebut. Mereka sama-sama lupa
landasan konstitusi yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 bahwa “Presiden
memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD”. Ini adalah paham integralistik
yang dianut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang dirumuskan dalam
konstitusi oleh para pendiri bangsa Indonesia (the founding fathers). Implikasi
dari paham integralistik tersebut adalah bahwa seluas apapun otonomi yang
dianut dalam Negara kesatuan, tidak ada satu urusanpun yang seratus persen bisa
diserahkan ke daerah mengingat tanggung jawab akhir pemerintahan ada ditangan
Presiden (the ultimate responsibility lies upon the President).
Paling sedikit kewenangan yang
tetap ada ditangan pusat adalah menentukan aturan main untuk menyelenggarakan
suatu urusan pemerintahan yang tertuang dalam bentuk norma, standard, prosedur
dan criteria (NSPK). NSPk tersebut yang menjaga agar daerah dalam melaksanakan
urusan otonominya tetap dalam koridor NKRI. Sebagai suatu ilustrasi; andaikan
suatu urusan pemerintahan diberikan sepenuhnya ke daerah tanpa ada NSPK maka
setiap daerah akan membuat kebijakan sendiri-sendiri berbasis kearifan local
(local wisdom) masing-masing untuk menjalankan urusan tersebut. Akibatnya
standard pelayanan public bisa berbeda-beda antar daerah dan akan menimbulkan
kekacauan. Sebagai contoh, apabila pendidikan seratus persen diserahkan ke
daerah, maka daerah akan membuat standard kurikulum, standard guru/dosen,
standard ujian/buku sendiri-sendiri berbasis kearifan local daerah
masing-masing. Resiko terburuk yang terjadi bisa saja lulusan suatu daerah
tidak diakui di daerah lain, kompetensi yang sangat variatif akan terjadi dan
ini akan membahayakan keutuhan nasional.
Ilustrasi tersebut memberikan
argument bagi kita bahwa seluas apapun otonomi daerah dalam Negara Kesatuan
seperti Indonesia, minimal pusat masih berperan untuk menetapkan NSPK,
melakukan binwas dan fasilitasi kepada daerah. Dengan cara tersebut ketimpangan
antar daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah dapat dihindari. Karena muara
dari otonomi daerah adalah kesejahteraan masyarakat local, maka kegiatan binwas
dan fasilitasi dari pusat harus mampu meminimalisir ketimpangan tersebut. Hal
tersebut juga memberikan argumen bahwa kementrian di pusat masih mempunyai
tugas yang berat untuk melakukan langkah-langkah pembinaan dan fasilitasi
kepada daerah dalam koridor NSPK yang ada.
Untuk itu sangat diperlukan perubahan “mind set” pejabat di pusat untuk
menyusun kegiatan-kegiatan yang merubah peran dari “pelaksana” menjadi
“pemberdaya” atau dari peran “implementing” menjadi “empowering” atau
“enabling”.
Dari uraian diatas jelas bahwa
dalam setiap urusan pemerintahan yang di desentralisasikan masih ada peran
pusat, peran provinsi dan peran kabupaten/kota. Karena itulah maka urusan
tersebut menjadi urusan yang dikerjakan bersama antara pusat dan daerah.
Terjadilah prinsip “concurrence” dalam pelaksanaan urusan tersebut. Maka urusan
yang di desentralisasikan tersebut sering juga dikenal dengan istilah urusan
“konkuren” artinya dikerjakan bersama antara pusat, provinsi dan
kabupaten/kota.
Urusan konkuren tersebut
mengikuti alur pikir Indeks Pembangunan Manusia atau HDI yaitu ada kelompok
urusan-urusan pemerintahan yang terkait
dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan dan pelayanan dasar
lainnya. Kelompok urusan tersebut diberi label “urusan wajib”. Argumen bahwa
urusan yang terkait dengan pelayanan dasar menjadi urusan wajib karena menyangkut
pelayanan dasar yang menjadi hak-hak warga Negara Indonesia yang dijamin dalam
konstitusi UUD 1945. Contoh; setiap warga Negara berhak atas pendidikan, maka
urusan pendidikan menjadi urusan wajib. Demikian juga halnya dengan urusan kesehatan, tenaga kerja, social dan
urusan-urusan yang terkait dengan pelayanan dasar lainnya.
Ketika daerah diwajibkan untuk
melaksanakan pelayanan dasar tersebut, maka harus didukung sumber pembiayaan
mengikuti prinsip “money follows functions”. Karena kemampuan keuangan
pemerintah yang masih terbatas, maka urusan wajib mengikuti prinsip pelayanan “minimum” yaitu apa-apa saja yang minimal
harus diberikan oleh pemerintah daerah terkait dengan penyediaan pelayanan
dasar tersebut. Dari pemikiran tersebut lahirlah konsep “Standard Pelayanan
Minimum” atau SPM. Oleh karena itulah dalam penyusunan SPM tersebut pemerintah
harus realistis dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan, sumber daya, sarana
serta prasarana yang ada di daerah tersebut. Makin banyak dan luas SPM yang dibuat
akan makin menambah beban pemerintah daerah untuk mencapainya. SPM seyoganya
menjadi konsep yang dinamis dan bersifat “incremental’ atau bertahap sesuai
dengan kemampuan daerah dan Negara dalam mendukung konsep tersebut.
Kelompok kedua yang termasuk rumpun
urusan konkuren adalah urusan yang terkait dengan pengembangan sector unggulan
(core compentence) daerah atau dikenal dengan istilah urusan pilihan.
Pengembangan urusan pilihan akan terkait dengan upaya membangun ekonomi daerah
yang pada gilirannya akan bermuara pada peningkatan penghasilan atau income
masyarakat sebagai salah satu elemen dasar dari IPM atau HDI. Walaupun daerah
diberikan otonomi luas, bukan berarti semua urusan harus dilaksanakan, tapi
harus focus melaksanakan urusan yang sesuai dengan karakter daerah itu sendiri
dan mempunyai potensi yang tinggi untuk dikembangkan untuk mendukung
perekonomian daerah tersebut. Ada tiga indicator untuk menentukan suatu urusan
pilihan yaitu:
1. Struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB); sektor-sektor ekonomi
mana saja yang membentuk perekonomian daerah. Contoh berapa sumbangan sector
petanian, perdagangan, pariwisata dan sector lainnya terhadap ekonomi daerah.
Makin tinggi sumbangan sector tersebut ke perekonomian daerah semakin
diperhitungkan sector tersebut sebagai unggulan daerah.
2. Mata pencaharian penduduk (employment). Hal ini merupakan pertimbangan
utama dalam menentukan urusan pilihan yang akan dilaksanakan di suatu daerah.
Meskipun pertanian sebagai contoh, menyumbang sangat kecil kepada perekonomian
daerah, namun melibatkan tenaga kerja yang dominan di suatu daerah, maka urusan
pertanian tersebut harus diutamakan. Argumennya adalah bahwa pemerintah daerah
ada karena rakyat; kalau tidak ada rakyat maka mustahil akan dibentuk
pemerintah daerah. Jadi tugas mensejahterakan rakyat menjadi misi utama
keberadaan pemerintahan daerah. Jadi dimana mayoritas rakyat bekerja disanalah
sector yang harus dikembangkan secara maksimal oleh pemerintah daerah walaupun
sering sector yang menyerap penduduk banyak, sumbangannya sangat kecil terhadap
PDRB.
3. Pemanfaatan lahan menjadi dasar pertimbangan yang ketiga dalam menentukan
urusan pilihan. Faktor ini lebih merupakan komplemen saja dalam menentukan
sector unggulan daerah.
Sinthesis antara ketiga
variable diatas akan menentukan apa yang menjadi sector unggulan suatu daerah
otonom. Sektor unggulan tersebut akan menjadi urusan pilihan yang akan menjadi
focus daerah dalam melaksanakan otonominya mensejahterakan masyarakat mnelalui
pengembangan ekonomi berbasis sektor unggulan
tersebut.
Urusan pemerintahan mempunyai
cakupan yang sangat luas dan hampir mencakup seluruh bidang kehidupan
masyarakat. Akademisi sering memberikan ungkapan bahwa urusan pemerintahan
adalah mencakup aspek dari mengurus manusia lahir sampai dengan mati (from the
craddle to the grave) artinya dari ayunan sampai kuburan. Hal ini terbukti dari
diwajibkannya orang mempunyai “akte kelahiran” untuk menandai kelahirannya dan
“akte kematian” untuk mencatat kematiannya. Persyaratan tersebut diwajibkan
oleh pemerintah untuk kepentingan penyusunan kebijakan kependudukan yang akan
menjadi masukan bagi kebijakan-kebijakan pemerintah lainnya.
Diluar urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan mutlak pemerintah pusat, menjadi urusan yang di
desentralisasikan ke daerah. Konsekwensinya, semua urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Departemen, Kementrian dan Lembaga Pemerintah Non Departemen
(LPND) diluar urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan mutlak pemerintah
pusat, di desentralisasikan ke daerah. Argumen yang berkembang adalah sangat
sederhana, kalau urusan tersebut tidak di desentralisasikan, maka akan
memberikan argument bagi pusat untuk membentuk unit organisasi sebagai
perpanjangan tangan mereka di daerah. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan
menghidupkan kembali praktek lama yaitu membentuk Kanwil dan Kandep yang sejak
reformasi telah dilebur kedalam Dinas, Badan atau Kantor milik pemerintah
daerah sebagai konsekwensi dari diterapkannya otonomi yang seluas-luasnya pada
era reformasi.
Pusat diperkenankan membuat
unit organisasi (Balai, Unit Pelaksana Tehnis atau bentuk lainnya) hanya untuk
mengerjakan urusan yang masih menjadi kewenangan pusat karena sifatnya yang
strategis atau bersifat lintas Provinsi. Itupun sebenarnya pusat bisa
memanfaatkan peran Gubernur sebagai wakil pusat untuk melaksanakan pekerjaan
tersebut melalui pemanfaatan azas dekonsentrasi. Namun kecenderungan yang
terjadi adalah pusat cenderung untuk membentuk sendiri lembaga tersebut dengan
menempatkan pejabat-pejabat pusat di daerah; hampir sejenis Kanwil dimasa lalu
walaupun dengan kewenangan sangat terbatas.
Akibat di desentralisasikannya
semua urusan pemerintahan diluar enam
urusan yang menjadi kewenangan mutlak pemerintah pusat, maka otonomi daerah di
Indonesia menjadi otonomi yang sangat luas, jauh melampaui otonomi daerah di
Negara-negaa maju apalagi di Negara berkembang. Ada 31 urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan pemerintah daerah. Urusan-urusan tersebut adalah:
1. Sosial
2. Lingkungan Hidup
3. Perdagangan
4. Kelautan dan Pertikanan
5. Kehutanan
6. Pendidikan
7. Kesehatan
8. Usaha Kecil dan Menengah
9. Tenaga Kerja dan Transmigrasi
10. Pertanian dan Perkebunan
11. Pertambangan (Enerji dan Sumber Daya MineralESDM)
12. Perhubungan
13. Penanaman Modal
14. Kebudayaan dan Pariwisata
15. Kependudukan
16. Pemberdayaan Perempuan
17. Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera
18. Perindustrian
19. Pekerjaan Umum
20. Penataan Ruang
21. Pemuda dan Olah Raga
22. Komunikasi dan Informasi/ Kominfo
23. Perumahan
24. Arsip
25. Pertanahan
26. Kesatuan Bangsa dan Politik /Kesbang Pol
27. Statistik
28. Pemerintahan Umum
29. Pemberdayaan Masyarakat Desa/PMD
30. Kepegawaian
31. Perpustakaan
Dikaitkan dengan penyediaan
pelayanan public, maka daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus
pelayanan public sesuai dengan 31 urusan pemerintahan yang telah diserahkan ke
daerah. Dibandingkan dengan otonomi baik di Negara maju maupun berkembang, ada
beberapa kesimpulan yang dapat ditarik yaitu:
Pertama; Indonesia meng-adopsi
otonomi yang sangat luas sehingga menjadilah otonomi daerah di Indonesia
otonomi yang terluas di dunia (the most extensive regional autonomy in the
world). Keuntungan dari posisi tersebut adalah terjadinya “shifting” yang luar
biasa dari yang dulunya Negara yang sangat sentralistik menjadi Negara yang
sangat desentralistik tanpa suatu gejolak yang membahayakan secara signifikan
keutuhan bangsa dan Negara. Walaupun di beberapa daerah terjadi ekses
“kebablasan”. Namun Indonesia menjadi salah satu Negara yang sangat berani
melakukan shifting tersebut dan berhasil melampaui masa transisi tersebut tanpa
perpecahan.
Kedua; peran untuk memacu
pertumbuhan ekonomi dengan diserahkannya kewenangan yang sangat luas menjadi
sangat terbuka bagi daerah. Kondisi tersebut akan menghilangkan stigma bahwa
orang daerah adalah orang yang tidak mampu, tidak kompeten untuk memajukan bangsa.
Ini merupakan momentum bagi daerah untuk menghilangkan stigma tersebut. Ibarat
permainan bola dan bola sudah ada di daerah. Tujuan filosofis dari otonomi
daerah yaitu memacu kesejahteraan di tingkat local yang kemudian secara agregat
akan menyumbang pada kesejahteraan nasional, menjadi sangat terbuka bagi
daerah. Keberhasilan daerah akan memberikan insentif untuk mencegah urbanisasi
karena pemerataan pembangunan dan kesempatan kerja akan terbentuk di daerah.
Daerah akan menjadi ujung tombak dan sebagai penggerak utama (prime mover) bagi
perekonomian daerah. Kesempatan tersebut jarang terjadi dalam era sentralisasi
dimasa lalu atau di Negara-negara berkembang di berbagai belahan dunia.
Ketiga; Resiko otonomi luas
akan memberikan dampak dua sisi. Kalau daerah berhasil akan memberikan sukses
bagi otonomi daerah dan bahkan bukan mustahil otonomi daerah Indonesia akan
menjadi model bagi otonomi daerah Negara-negara berkembang lainnya. Pusat akan
lebih berkonsentrasi pada urusan-urusan strategis nasional dan internasional
dan daerah akan focus pada pelaksanaan urusan-urusan local yang difasilitasi
oleh kebijakan strategis nasional yang kokoh. Namun sebaliknya kalau daerah
gagal dalam memanfaatkan momentum otonomi luas tersebut, bukan mustahil demi
kepentingan nasional, pemerintah pusat secara bertahap akan melakukan
resentralisasi untuk urusan-urusan yang berdampak strategis nasional. Hal
tersebut akan mengembalikan pendulum pemerintahan menuju sentralisasi yang
bukan mustahil akan bermuara kepada chaos. Daerah sudah terbiasa dengan otonomi
luas dan ketika ditarik kembali, hal tersebut berpotensi menciptakan ketidak
puasan elit daerah yang bahkan bisa bermuara pada gerakan sentrifugal dalam
bentuk gerakan separatism.
Dari gambaran tersebut diatas
nampak jelas perlunya peningkatan kapasitas daerah agar mampu melaksanakan
tanggung jawab yang besar yang dipercayakan bangsa dan Negara kepada daerah
dalam bentuk otonomi luas. Ada dua sisi yang harus ber-sinerji yaitu sisi
pemerintah pusat dan sisi pemerintah
daerah. Dari sisi pusat harus dibentuk suatu “mind set” bahwa menjadi
tanggung jawab pusat untuk memberdayakan daerah. Untuk itu maka jenis program
dan kegiatan yang disusun pusat terkait dengan daerah adalah kegiatan-kegiatan
pemberdayaan (capacity building), monitoring dan evaluasi serta fasilitasi agar
daerah mampu melaksanakan otonomi secara optimal. Kebijakan insentif dan
dis-insentif mejadi sangat signifikan untuk memacu daerah dalam melaksanakan
otonomi daerah mengupayakan kesejahteraan rakyat.
Elite di pusat harus memahami
bahwa tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan urusan pemerintahan ada
ditangan Presiden sebagaimana ketentuan Pasal 4 (1) UUD 1945. Pusat harus
bersikap seperti orang tua yang selalu membimbing dan membina daerah yang
berperan sebagai anak-anaknya. Hubungan pusat dan daerah ibarat hubungan orang
tua dan anak-anaknya. Tidak ada anak yang salah; yang salah adalah orang tua
yang kurang membimbing. Pada sisi lain si anak juga harus memahami kedudukan
dan perannya sebagai anak. Jangan sampai menjadi anak durhaka yang cenderung
selalu melawan orang tua dan tidak mau mengikuti bimbingan orang tua, karena
sudah merasa lebih pintar dari orang tuanya. Apabila pola hubungan kekeluargaan
tersebut yang di adopsi dalam konteks otonomi daerah di Indonesia, maka bukan
mustahil otonomi Indonesia akan menjadi model otonomi daerah yang layak
dikembangkan di Negara-negara berkembang atau setidaknya di Negara yang
karakter masyarakatnya seperti Indonesia. Dan kita patut berbangga untuk itu.
IV. MEMPERSIAPKAN KADER DAERAH
Telah terjadi perubahan yang
sangat mendasar dalam pengaturan pemerintahan dalam era reformasi dewasa ini.
Diberikannya otonomi luas kepada Daerah dalam koridor UU 32/2004 telah memulai
era baru dalam pengelolaan otonomi daerah. Dimasa lalu budaya minta petunjuk
dan arahan dari pemerintahan atasan selalu menjadi agenda utama dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Sekarang ini otonomi luas
telah memberikan diskresi yang luas bagi daerah untuk menyelenggarakan otonomi
daerah.
Pada sisi lain berkembangnya gejala globalisasi yang dipicu oleh teknologi komunikasi
dan informasi menyebabkan kaburnya batas-batas negara. Munculnya "borderless society" akibat globalisasi tersebut
telah merubah sendi-sendi kehidupan negara bangsa (nation state). Adalah tidak
berlebihan kemudian Konichi Omae menamakan kondisi masa depan tersebut sebagai
"the end of nation state".
Terjadinya kecenderungan
negara-negara menyatukan diri kedalam ikatan-ikatan yang dipersatukan oleh
kepentingan bersama baik karena latar belakang politik, pertahanan dan
akhir-akhir ini yang dipicu oleh kepentingan ekonomi telah melahirkan
pengelompokan negara-negara dalam EEC, AFTA, NAFTA dsb. Neisbitt mensinyalir
terjadinya anomali seperti "global Paradox"
dalam kehidupan negara bangsa yang didorong oleh kepentingan dari bangsa-bangsa
tersebut.
Kondisi anomali tersebut telah
mendorong berbagai pendekatan yang sering bertentangan dalam kehidupan
bernegara. Negara-negara Eropa Barat yang bergabung dalam EEC atau Masyarakat Ekonomi
Eropa bisa menerapkan dua values yang berbeda secara bersamaan. Ketika mereka
harus berhadapan dengan kelompok negara-negara lain seperti NAFTA, AFTA maka
mereka bersatu dan seolah-olah bersifat sentralistik. Munculnya Parlemen Eropa,
uang Eropa (Euro), pertahanan bersama (NATO) memperlihatkan gejala
sentralisasi. Namun ketika mereka kembali ke negara masing-masing, maka mereka
menjadi desentralistik. Pada sisi lain China dengan dua sistem yang
mengkombinasikan antara sentralistik secara politis dan desentralistik secara
ekonomis telah menunjukkan kemajuan yang begitu mengesankan dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi diatas 10% selama lebih dari dua dekade.
Gejala tersebut juga akan
menular ke Indonesia. Pesatnya teknologi komunikasi dan informasi akan menciptakan
negara tanpa batas. Pemerintah sebagai lembaga yang mempunyai otoritas untuk
melindungi dan mensejahterakan rakyat dituntut untuk merubah strategi
pengelolaan pemerintahan termasuk penyelenggaraan pemerintahan daerah. Terlebih
dengan terjadinya reformasi yang berintikan demokratisasi dan otonomi daerah
menuntut reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan baik
di Pusat maupun daerah. Euforia demokrasi, kalau kurang disikapi secara
hati-hati akan menjadi bumerang terhadap demokrasi itu sendiri.
Pemerintahan daerah yang
mempunyai dua misi utama yaitu sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat
lokal dan instrumen menciptakan kesejahteraan memerlukan perubahan juga dalam
pengelolaannya. Diperlukan adanya perubahan-perubahan yang signifikan baik
dalam kewenangan, kelembagaan, personil, keuangan, perwakilan, pelayanan publik
dan pengawasan sebagai elemen-elemen dasar dari pemerintahan daerah.
IPDN sebagai
sekolah yang mencetak kader-kader birokrasi pemerintahan dan khususnya pemerintahan
daerah dituntut untuk mampu menjawab tantangan tersebut. Pola pendidikan dan
muatan kurikulum harus disesuaikan dengan tantangan yang muncul. Dua
tekanan yang dihadapi oleh sektor
pemerintahan yaitu; tekanan globalisasi dan tekanan reformasi. Tekanan
globalisasi menuntut terbentuknya pemerintahan yang efektip dan efisien serta
ekonomis melalui pengedepanan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif.
Sedangkan tekanan reformasi akan menuntut pemerintahan yang mampu mengedepankan
sendi-sendi demokratisasi yaitu partisipasi, transparansi dan akuntabilitas.
Kedua tantangan tersebutlah
yang harus mampu dijawab oleh IPDN dimasa sekarang dan dimasa depan. Ini
menuntut pengelolaan pendidikan yang berorientasi kepada dua tantangan
tersebut. Tamatan IPDN dituntut untuk mampu menjawab
tantangan globalisasi dan tantangan demokrasi sebagi buah dari reformasi.
Dari uraian diatas maka perlu
adanya pengajaran yang tepat bagi para kader birokrasi daerah dalam menjawab
tantangan globalisasi dan demokratisasi tersebut. Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pendidikan di IPDN yaitu:
1. Meningkatnya
pengetahuan akademis dari mahasiswa IPDN dalam bidang pemerintahan dalam arti
memahami tataran filosofis dan legalistic dari otonomi daerah dan berbagai
implikasinya
2. Meningkatnya
kemampuan dan pengetahuan mahasiswa dalam memahami kecenderungan-kecenderungan
global yang terjadi dan mengambil manfaatnya untuk kepentingan local (Think
globally but act locally).
3. Meningkatnya
kemampuan memahami isu-isu partisipasi, akuntabilitas dan transparansi sebagai
esensi dari pemerintahan yang demokratis. Termasuk didalamnya kemampuan untuk
memahami konstelasi politik local yang terjadi serta kaitannya dengan
konstelasi politik nasional. Bagaimana menjaga profesionalisme dalam turbulensi
politik local yang terjadi
Untuk mampu
membekali mahasiswa dengan pengetahuan tersebut maka sebaiknya pengajaran
jangan hanya bersifat “classical” atau di kelas saja tapi juga harus kombinasi
antara teori di kelas dengan praktek di lapangan. Pemakaian teknologi informasi
(IT) harus sudah merupakan keniscayaan.
Untuk meningkatkan
daya kritis mahasiswa dalam membangun sikap yang demokratis, mahasiswa harus
dibiasakan berlatih berdebat secara ilmiah. Mahasiswa diikutkan dalam debat public
baik yang ada di TV maupun dalam berbagai forum seminar atau workshop.
Mahasiswa harus dilatih untuk menuangkan buah pikiran dalam paper atau makalah
yang kemudian harus dipertahankan dalam debat atau diskusi yang bersifat
akademis.
Untuk menambah wawasan
mahasiswa, secara periodic undang duta-duta besar Negara sahabat untuk
memberikan kuliah umum menganai system pemerintahan di Negara tersebut.
Bagaimana hubungan pusat dan daerah; bagaimana kebijakan desentralisasi di
Negara yang bersangkutan. Dengan cara tersebut mahasiswa akan mendapatkan
wawasn komparatif yang luas dari pelaksanaan otonomi daerah di berbagai Negara.
Hasilnya bisa di kompilasi menjadi bahan
ajar Perbandingn Pemerintahan Daerah dari berbagai Negara. Untuk mampu
menjawab semua tantangan tersebut maka kemampuan berbahasa Inggris merupakan
kebutuhan yang tidak terelakkan sebagai medium komunikasi internasional yang
standard.
KESIMPULAN
Berbagai uraian diatas akan
memberikan pegangan bagi kita untuk memahami otonomi daerah di Indonesia yang
sedikit banyak filosofinya agak berbeda dengan otonomi daerah dari
Negara-negara lainnya. Kita harus mampu memahami dimana posisi daerah dalam
system pemerintahan di Indonesia. Kita juga mengetahui bagaimana hubungan pusat
dan daerah dalam konteks otonomi daerah.
Setiap Negara mempunyai jalan
sendiri-sendiri dalam perjalanan otonominya. Kita tidak perlu silau melihat
system Negara lain dan berpikir bahwa system mereka lebih baik dari system
kita. Persoalan mendasar yang kita hadapi adalah bukan terletak pada system
yang dianut tapi bagaimana hasil akhir dari penyelenggaraan otonomi daerah
tersebut. Dua indicator yang dapat dijadikan acuan apa otonomi telah mencapai
tujuannya secara optimal yaitu:
Pertama; sejauhmana otonomi
suatu Negara telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat local yang
secara agregat akan menyumbang kepada kesejahteraan nasional. Kesejahteraan
ditandai dengan meningkatnya kuantitas dan kualitas pelayanan public yang
disediakan oleh pemerintah daerah. Meningkatnya pelayanan public terutama dalam
penyediaan pelayanan dasar dan pengembangan sector unggulan sebagai tulang
punggung perekonomian daerah akan
menjadi fondasi utama bagi daerah mensejahterakan warganya.
Kedua; sejauhmana keberadaan
pemerintah daerah telah mendukung proses pendidikan politik di tingkat local
yang secara komulatif akan menyumbang kepada pendidikan politik secara nasional
untuk mendukung terwujudnya masyarakat madani (civil society). Berbagai
kegiatan daerah merupakan wahana pendidikan politik masyarakat seperti proses
pemilihan kepala daerah, konsultasi public, penyusunan rencana pembangunan
jangka menengah daerah (RPJMD), proses penyusunan perda yang melibatkan public
adalah hal-hal yang terkait dengan pendidikan politik masyarakat local. Keberhasilan
pendidikan politik di tingkat local tersebut secara komulatif akan menyumbang
kepada pendidikan politik secara nasional mendukung proses demokratisasi menuju
masyarakat madani.
Apabila kedua tujuan otonomi
daerah tersebut menunjukkan peningkatan, maka terlepas dari system apapun yang
kita anut, baru kita boleh berbangga bahwa kita berhasil dalam otonomi daerah.
Namun ketika kedua indicator utama tersebut belum tercapai, maka terlalu
premature atau berlebihan kalau kita mengatakan otonomi daerah kita sukses.
Untuk itulah maka tantangan yang
dihadapi oleh IPDN sebagai institusi pendidikan yang mencetak kader
pemerintahan daerah adalah bagaimana mahasiswa IPDN mampu membekali diri dalam
dua aspek utama yaitu kemampuan memahami otonomi luas pasca reformasi dan
kemampuan mengedeopankan nilai-nilai demokrasi sebagai buah dari reformasi.
Untuk mampu menjawab tantangan tersebut maka diperlukan adanya metodologi untuk
menjawab kedua tantangan tersebut. Dengan metodologi yang tepat alumni IPDN
akan mampuy menjawab tantangan tersebut dalam masa baktinya sebagai birokrasi
daerah
BIBLIOGRAPHY
Allen,H.JB.(1985). Enhancing
Decentralisation for Development,
The Hague: IULA.
Ball,A.R. (1985). Modern Politics and
Government. London:
MacMillan.
Barbour,GP.et al.(1984). Handbook: Excellent
in Local Government
Management, Washington: ICMA.
Bintoro,T & Mustopadidjaja,AR.(1988). Kebijaksanaan
dan Administrasi Pembangunan,
Jakarta: LP3ES.
Bowman,M and Hampton,W.(1983). Local
Democracies: A Study in
Comparative Local Government, Melbourne: Longman.
Byrne,T.(1985). Local Government in Britain,
Middlesex: Penguin Book.
Cochrane,G.(1987). Policies for
Strengthening Local Government in
Developing Countries, World Bank.
Davey,K.(1989). Strengthening Municipal
Government, The World Bank.
Davey,K. (1985). The Future Role of Local
Government. INLOGOV- University
of Birmingham.
Devas,N.(1987). Inter-governmental Financial
Relations in Indonesia. University of Birmingham.
Griffiths,A. (1987). Local Government
Administration. London: Shaw
and Sons.
Gyford,J and James,M. (1983). National
Parties and Local Politics.
London: George Allen and Unwin.
Hambleton,R and Hoggett,P (Ed.) (1984). The
Politics of Decentralisation:
Theory and Practice of a Radical Local
Government Initiative. Bristol: Saus.
Hampton,W.(1987). Local Government and Urban
Politics, London: Longman.
CURICULUM VITAE
NAMA : DR.MADE SUWANDI
MSoc.Sc
LAHIR : KLUNGKUNG,BALI, 21
JUNI 1953
JABATAN DIREKTUR
URUSAN PEMDA, DITJEN OTDA, DEPDAGRI
ALAMAT : DEPDAGRI, JL.MERDEKA UTARA 7-8 JAKARTA
EMAIL : made_suwandi@yahoo.co.id
kapasda05@yahoo.co.id
CELL PHONE : 0816-914482
PENDIDIKAN TAMAT:
1. APDN BANDUNG 1975
2. IIP JAKARTA 1980
3. MASTER OF SOCIAL SCIENCE, UNIVERSITY OF BIRMINGHAM, ENGLAND, 1988
4. DOCTOR IN LOCAL GOVERNMENT STUDIES, UNIVERSITY OF BIRMINGHAM, ENGLAND,
1992
PENGALAMAN AKADEMIS DAN
SEMINAR:
1. Dosen
Pasca Sarjana Universitas Indonesia, IIP Jakarta, STIE, UNKRIS, dan IPDN.
2. Short Course on Private Partnership in
Urban Services (PURSE) in Harvard
University, Cambridge, Massachusset, USA, 1993.
4. Short Course on Local Government in Local
Autonomy College, Tokyo, Japan, 1994.
5. Short Course on Urban Management,
Birmingham University, England, and IHS Rotterdam, Holland, 1994.
6. Seminar on Mega City, Asian Development
Bank, Manila, 1995.
7. Short Course on Management Research,
Birmingham University, 1997.
8. Seminar on Civil Society, Hamburg,
Germany, 1998
9. Seminar on Governance, Manila, 1999
10. Study Comparative on European Local
Government, Amsterdam and London, 2000
11. Seminar Asian Forum, Bangkok, May, 2001
12. Conference on Decentralization, Georgia
State University, Atlanta, USA, May 2002.
13. Comparative on USA Decentralization, USA,
July 2002.
14. Symposium on Indonesian Decentralization,
Hitotsubashi University, Tokyo, January 2003
15. Comparative Study on South Africa
Decentralization, Johannesburgh, May 2003
16. Seminar on Poverty Reduction Strategy,
Phonm Penh, Cambodia, October 2003
17. Seminar on Service Delivery, Manila,
Januari 2004
18. Seminar on Millenium Development Goals,
Manila, May 2004
19. Comparative Study on South Africa
Decentralisation Desember 2004
20. Seminar on Poverty Alleviation, Hyderabad,
India, Desember 2006
21. Seminar on Strengthening Human Right,
Vancouver, Canada, May 2007
22. Comprative Study on Decentralisation,
Berlin, Germany, November 2007.
23. Study on Eastern European Local Government,
Budapest, May 2008
24. Workshop on South-South Cooperation, Art
Gold, Southern Province, Srilanka, August 2008
25. Workshop on Forest Decentralisation,
Hessen, Germany, October 2008
26. Seminar on Environment and Local
Government, CLAIR, Tokyo and Sendai 27 July – 2 August 2009.
DR.Made Suwandi Msoc.sc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar